31 : Choi Minho, Antisosial & Self Injury
[Sehun POV]
Aku menutup catatan harian berwarna biru milik Shin Mi itu. Tanpa sadar, sedari tadi air mataku keluar. Aku menyekanya dengan ibu jariku. Setelah menarik napas panjang, aku berdiri. Secepatnya aku ingin beranjak dari sini. Mengambil makanan yang tadi kubeli dari atas meja, aku segera melangkah dari sana.
Mengapa semuanya begitu tiba-tiba?
Mengapa aku tidak pernah sadar?
Mengapa aku tahu disaat semuanya sudah terlambat?
Mengapa?
Sekarang aku sudah memiliki Irene, yeoja-ku. Seharusnya aku tidak perlu lagi memikirkan hal ini. Aku harus berjalan terus ke depan dan tidak usah melirik ke masa lalu. Tapi, semua ini tidak bisa hilang dari pikiranku. Tidak bisa sedetikpun tidak terlintas di benakku. Semua ini begitu tiba-tiba dan aku bahkan tidak bisa berpikir dengan baik.
Keesokan harinya...
"Sehun, wae geurae? Kau terlihat tidak sehat." Irene yang duduk disampingku, menatapku dengan wajahnya yang khawatir.
Semalam, aku kembali ke kamar appa Irene dirawat. Sejenak aku pura-pura melupakan kejadian itu dan bertingkah seperti biasanya. Aku memberikan makanan yang kubeli dan omonim sangat berterimakasih. Ternyata ia belum sempat makan karena khawatir dengan keadaan suaminya. Omonim dan Irene pun makan malam dengan makanan yang kubeli, sementara aku menemani mereka makan sambil sesekali kami bercerita.
Aku tersenyum. "Sebenarnya aku merasa tidak enak badan pagi ini. Tapi begitu melihatmu, aku langsung segar kembali," ucapku padanya.
Sebenarnya aku tidak mengucapkan ini demi menyenangkan hatinya. Aku memang merasakannya. Sejak pertama kali melihatnya, aku selalu merasa demikian. Ia terlihat begitu bersinar dibawah terik matahari, dengan rambutnya yang diterpa angin ketika ia membeli permen kapas seraya tersenyum pada Ahjussi penjual. Dalam pandangan pertama, aku jatuh cinta dengannya.
Kali ini, aku tidak ingin mengecewakannya. Tidak usah aku memikirkan perihal Shin Mi. Semua sudah berlalu dan tidak ada gunanya menangisinya.
Irene tersipu dengan perkataanku barusan. Pipinya bahkan bersemu merah. Lucunya.
"Jangan seperti ituuu!" ucap Irene. Aku ingin sekali tertawa melihat wajahnya yang merah seperti saus tomat.
"Seperti apa?" Aku pura-pura tidak tahu.
Ia mengerucutkan bibirnya seraya mengembungkan pipinya. Lucu sekali, seperti anak kecil yang kesal karena tidak dibelikan permen.
"Kyeoptaa!"
Dalam hitungan 5 detik, pipi Irene semakin bersemu merah.
"Anak itu lucu sekali, bukan?" kataku menunjuk seorang anak perempuan yang berada di kereta bayi sambil meminum susu.
Irene mengalihkan pandangannya pada bayi perempuan itu. Ia hanya terdiam dan terlihat kesal. Aku yakin sekali, pasti ia merasa bahwa aku mengatakannya lucu dan langsung kesal saat menyadari yang aku maksud adalah bayi kecil itu. Aku hanya menggodanya, memang benar aku mengatakan Irene lucu.
"Aku ingin ke toilet." Irene bangkit dari duduknya, berjalan meninggalkan diriku bahkan aku belum mengatakan apa-apa. Apa dia benar-benar kesal padaku?
Aku ikut bangkit dan berjalan cepat-cepat mengikutinya.
"Hey..." Aku menarik lengan Irene begitu aku berhasil menyusulinya. Ia tetap berjalan dan membuatku harus mengikuti langkahnya.