24 : Harumi dan Shin Mi
Irene dalam perjalanan menuju kantor appa-nya. Setelah pamit pada keluarga Oh untuk pulang duluan karena ada urusan mendesak. Irene mengirim pesan pada ahjussi yang merupakan supirnya terlebih dahulu untuk menjumputnya. Saat ahjussi sampai, barulah Irene pamit. Ia tidak ingin Sehun yang mengantarnya karena Irene belum memberitahu Sehun mengenai hal ini.
Dan disinilah Irene sekarang. Ruangan kerja yang sangat luas, lengkap dengan perabotan-perabotannya dan desain ruangannya yang indah. Seorang pria paruh baya dengan kemeja putihnya duduk di hadapan Irene. Sudah lima menit tetapi mereka masih saling diam, tidak berbicara satu sama lain.
Pria itu kemudian memandang wajah Irene lama, tapi orang yang ditatap itu tidak menatapnya, tetap menunduk menatap lantai.
"Irene, appa minta maaf." Kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya yang sudah lama kelu untuk sekedar mengucapkan kalimat singkat itu. kecangungan diantara mereka pun perlahan hilang.
"Semua ini salah appa. Kau kehilangan mimpimu, bakatmu dan hal yang sangat kau banggakan. Suaramu. Maafkan appa, Irene. kalau saja appa tidak memaksamu untuk latihan terus menerus tanpa henti, semua ini tidak akan terjadi. Appa terlalu keras padamu, padahal kau putri appa satu-satunya." Ia menatap Irene nanar. Menyalahkan dirinya atas semua hal yang terjadi pada anak perempuan satu-satunya. Bukankah memang benar, bahwa ialah penyebab anaknya menjadi seperti ini?
"Setiap hari appa merenung. Setiap hari appa tidak merasa bahagia semenjak kau kehilangan suaramu. Appa merasa sangat.. bersalah karena kejadian itu. Appa merindukanmu. Selalu merindukanmu. Bahkan appa sangat ingin pulang kerumah. Tapi apa? menatap wajahmu saja appa tidak bisa. Appa sangat menyesal. Tapi apa yang bisa appa lakukan? Semua sudah terjadi, penyesalan pun tidak gunanya. Appa memang tidak berguna." Wajahnya terlihat lelah, seperti tidak tidur selama seminggu. Kantung hitam dibawah matanya semakin terlihat.
Irene yang tadinya terus menunduk, kini mengalihkan pandangannya pada orang dihadapannya. Memandangnya dalam diam, mencerna kalimat-kalimat yang diucapkannya terlebih dahulu. Kemudian ia bangkit lalu mengambil posisi disamping appa-nya, duduk seraya mengelus bahu appa-nya dengan lembut. Layaknya seorang ibu yang menunjukkan kasih sayangnya pada anaknya. Pria itu perlahan menoleh pada wajah putrinya.
"Gwenchanha, appa. Sekarang aku baik-baik saja." Irene berucap dengan lembut. Kalimat itu terdengar bagaikan sebuah melodi yang begitu indah untuk didengar. Bagaikan sebuah alunan musik yang sangat langka.
Ia membelalakkan mata. Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak percaya. "Irene.. apakah itu suaramu?"
Irene mengangguk. Kedua sudut bibirnya melengkung keatas. "Ne. Itu suaraku, appa." Ia mengakhirinya dengan senyuman.
Senyum appa-nya merekah sempurna. Butiran bening menetes keluar dari kedua matanya. Menangis bahagia. "Syukurlah. Appa sangat bahagia." Setelah itu ia memeluk tubuh Irene dengan erat. Melepas kerinduan yang sudah lama terbendung.
"Appa, bogoshippo.." ucap Irene di sela-sela pelukannya. Ia sangat sangat merindukan appa-nya. Setelah hal-hal buruk yang pernah terjadi pun, mereka tetap seorang ayah dan anak.
Mulai malam ini, appa-nya akan kembali kerumah. Atas permintaan Irene.
****
Seorang yeoja berpenampilan menarik masuk ke sebuah rumah. Yeoja itu tingginya 170cm, memiliki kulit putih bersih, pinggang yang ramping serta rambut hitam panjangnya yang dibiarkannya tergerai indah hingga hampir sampai di batas pingganggnya. Cantik. Poni yang sedikit menutup matanya itu menambah kesan imut di dirinya.