2

19.4K 1K 3
                                    

Bel pulang adalah waktu terbaik menurut Amel. Bukan hanya karena berakhirnya pertemuannya dengan anak-anak itu, tapi juga berakhirnya jam pelajaran. Mengajari anak TK jauh lebih menguras tenaga dan pikiran, dan mental juga.

Sesudah murid-murdinya meninggalkan ruangan, Amel segera merapikan buku-bukunya, memasukkannya ke dalam tas dan menyandangkannya ke bahu. Kemudian Amel segera pergi meninggalkan ruang kelas yang penuh hiasan bangau origami itu.

Amel menyusuri lorong sekolah menuju ruang guru.

Ruang guru merupakan ruangan berukuran sedang, dengan meja-meja kayu yang dipoles mengkilap, serta nama masing-masing guru di tiap meja. Tiap meja dihiasi oleh bunga, dan beberapa guru yang kreatif menyelipkan foto-foto mereka di kaca meja mereka. Di sudut ruangan itu dipasang AC berukuran sedang, yang menurut Amel tidak ada pengaruhnya. Tempat ini sama saja panasnya dengan ruangan-ruangan lain di TK itu.

Meja Amel sendiri berada didekat jendela, dan berhubung Amel seorang guru yang kreatif, maka banyak sekali foto-foto di mejanya. Tapi tak satu pun foto dia terselip di sana, melainkan foto-foto makanan yang dibuat Amel sendiri. (Oh benar, Amel hobi sekali memasak). Kemudian di ujung mejanya, terdapat vas bunga dengan bunga mawar yang sudah kering. Guru-guru yang lain mengisi vas mereka dengan bunga plastik—yang tentu saja tahan lama dan tetap cantik—tapi bagi Amel sesuatu yang asli jauh lebih cantik walaupun periodenya singkat.

Amel melemparkan tasnya ke atas meja, sambil melihat-lihat berkas. Tiap guru di sini wajib memberikan laporan pengajaran setiap harinya. Karena itu, Amel harus tinggal lebih lama di sekolah untuk menyelesaikan laporannya.

Saat sedang asyik menulis laporan, Amel merasakan pundaknya dipukul pelan. "Hei, Mel," sapa seseorang, membuat Amel terlonjak kaget.

Amel refleks berbalik dan mendesah saat melihat Lista yang datang. Kali ini rambut pendeknya sudah dikucir tinggi, menegaskan rahangnya yang petak. "Kau ini. Bikin kagat saja." Amel mengusap-usap dadanya.

Lista cekikikan. "Kau dipanggil kepsek tuh,"

"Sekarang?"

Lista mengangguk dan Amel segera pergi ke ruangan kepala sekolah. Sesampainya disana, ternyata sang kepsek, Indrina, sudah menunggu Amel, duduk di mejanya sambil bertopang dagu.

"Duduk sini, Mel," kata kepsek, ketika Amel berjalan masuk. Amel langsung duduk dihadapannya.

"Nah, ini dia proposalnya," kata Indrina langsung, sambil menyerahkan berlembar-lembar kertas yang dihekter kepada Amel. Amel melihat proposal itu, membolak-baliknya sambil membaca sekilas.

"Ini adalah undangan dari perusahaan Twinkle Night. Mereka ingin beberapa murid kita mengikuti acara survei mereka," kata Indrina. Amel memandang wanita ini dari balik proposal itu, sambil mengangkat alisnya. Indrina buru-buru menambahkan, "Oh ya, aku memberimu tugas untuk menjadi guru pengawas mereka di acara itu."

"Dan apa pula itu Twinkle Night?" tanya Amel. Oke, Amel merasa cukup geli mendengar namanya yang konyol. Seolah perusahaan ini melibatkan tetek bengek balita saja!

"Mereka membuat tempelan-tempelan yang untuk melapisi dinding itu," Indrina menggaruk dagunya. "Apasih namanya?"

"Wallpaper?" celetuk Amel.

"Bingo!"

Indrina, bukan wanita tua dam masih tergolong wanita muda dengan usia sekitar dua puluh delapan tahun, dengan tubuh besar dan rambut keriting sebahu. Siapa pun yang melihatnya tak akan menyangka kalau wanita itu menduduki jabatan kepala sekolah. Pertama, usianya masih terlalu muda untuk jabatan kepsek, dan kedua pengetahuannya tentang dunia luar dan perkembangannya masih tergolong 'muda' untuk jabatan kepsek.

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang