25

9.2K 656 3
                                    

"Semua akomodasi sudah selesai, Bos," lapor Leo hari itu, masih dengan clip board di tangannya. "Dan tanggal pertemuan dengan perusahaan-perusahaan sudah ditentukan."

"Baiklah," sahut Ken. "Jadi, tanggal berapa kita berangkat?"

"Dua minggu lagi," jawab Leo. "Tujuan pertama kita adalah Vietnam."

Ken mengangguk mengerti. Ini adalah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan perusahaannya, jadi dia tidak boleh gagal sama sekali.

"Cheer up, Bos!" seru Leo tiba-tiba. "Aku yakin kita akan berhasil. Kau orang berbakat dan pemimpin yang baik."

Ken menaikkan sebelah alisnya. Leo. Dia memang suka menonton anime dan terkadang sikapnya seperti bocah. Tapi dia jelas pria baik dan bersahabat. Dan untuk pertama kalinya Ken bersyukur lebih menjadikan Leo asistennya.

"Kau ikut denganku, kan?" tanya Ken.

"Keliling dunia, Bos?" tanya Leo separo menganga.

"Jangan senang dulu. Aku jelas tidak mau berurusan dengan kertas-kertas hasil rapat," kata Ken. "Jadi kau harus membantuku."

"Tentu saja, Bos!" seru Leo bersemangat. "Aku akan membawa banyak pulpen."

Ken sedang menjelaskan rincian perjalanan lebih lanjut dengan Leo ketika Nila masuk ke ruangannya.

"Bos, seseorang bernama Hera ingin bertemu denganmu," kata Nila saat itu.

Ken terdiam sejenak. Kemudian dia memutuskan untuk menghadapi Hera. "Suruh dia masuk."

Ken tak menyangka Hera sanggup berjalan padahal dia baru saja meninggalkan rumah sakit. Walaupun dia berpenampilan cantik seperti biasa, kali ini Hera kelihatan lebih kurus dan sedikit pucat. Dan yang membuat Ken heran adalah koper besar yang berada di tangan kanannya. 

"Hai Ken. Bisa bicara berdua?"

Ken memberikan Leo kedikan singkat yang diketahui Leo maksudnya.

"Sudah baikan?" tanya Ken, ketika pintu ruangannya ditutup.

"Begitulah," Hera mengedikkan bahunya dan duduk dihadapan Ken. "Kau sudah dengar kabar Vero?"

Ken menggeleng. "Kenapa dengan Vero?"

"Well, kami sedikit berdiskusi kemarin yang lalu," Hera memulai. "Dia merasa tidak ada ruang di sini, jadi dia memutuskan pergi ke Spanyol dan menetap di sana. Dia sudah berangkat lima hari yang lalu."

Mata Ken melebar mendengarnya. "Kenapa dia pergi?"

Hera tidak langsung menjawabnya.

 "Karena dia sudah menyerah soal Amel," kata Hera sesudah berpikir sejenak. "Dan kupikir, aku juga sudah menyerah."

Ketika pemahaman melintasi pikiran Ken, dia merasa sangat ngeri. "Jangan bilang kau juga mau mengikuti jejak Vero?"

Hera tidak menjawab, hanya menatap Ken lurus-lurus dengan senyum miring. Itu sudah cukup sebagai jawaban bagi Ken.

"Jadi.. kemana kau mau pergi?" tanya Ken akhirnya.

"Jepang," jawab Hera. "Pamanku tinggal di sana, di dekat makam ibuku. Jadi aku akan menetap di sana, di dekat ibuku."

"Dan ayahmu setuju?"

"Dia tidak bisa melarangku," sahut Hera. "Dan lagi, sudah lama aku tidak mengunjungi ibuku."

Ken membuang napas dalam-dalam. "Apa kau pergi karena aku dan Ray?"

Hera menggeleng. "Dulu, aku egois sekali karena menginginkan kalian berdua. Sampai-sampai aku tidak tahu cinta itu apa," katanya. "Sekarang aku sudah melihatnya. Dibanding denganku, Amel jauh lebih pantas untukmu."

Hera bangkit dari kursinya, kemudian mengulurkan tangannya. Ken menghela napas panjang sebelum menyambut uluran tangannya.

 "Jaga dirimu, Hera," kata Ken akhirnya. 

"Kau juga," timpal Hera. Senyumnya sedikit bergetar, dan Ken bisa melihat sebulir air mata jatuh ke pipinya. "Tahu tidak, sebelum bertemu dengan Juliet, hati Romeo sempat berlabuh pada Rosaline. Untuk itu, Rosaline berterima kasih pada Romeo."

Ken tersenyum kecil. "Dan kau ingin berterima kasih padaku?"

Hera tertawa kecil kemudian menggeleng. "Tidak. Rosaline bangga karena pernah mendapatkan cinta Romeo, tapi aku tidak. Aku orang jahat yang tidak pantas menerima hal itu darimu."

"Kau tidak jahat, Hera," kata Ken. "Kau cuma belum mengerti."

Hera mengangguk kencang. "Mungkin," katanya. "AKu minta maaf karena sudah menyusahkanmu." 

Ken mengulas senyum kecil dan mengangguk. "Tentu saja. Sekali pun kita tidak bersama, kau tetap teman baikku dan keluargaku."

Hera mengangguk kecil. Entah  apa yang dipirkan wanita itu, tapi itulah kenyataannya. Ken peduli padanya layaknya teman dan keluarga. 

Sekali lagi Hera menarik napas panjang dan menjabat tangan Ken. "Nah, selamat tinggal, Ken. Kali ini, aku betul-betul berharap kau bisa bahagia."

Lalu Hera berbalik, meninggalkan ruangan Ken. Sebelum pintu tertutup, Ken bisa melihat senyum Hera. Senyum yang belum pernah dilihat Ken sebelumnya. Senyum yang menggambarkan kalau dia siap memulai awal baru dalam hidupnya.

Dan Ken berpikir, ini adalah awal baru bagi mereka semua. Termasuk awal baru baginya.

***

Hera sedang melamun di kursi tunggu, ketika dia merasakan tepukan ringan di pundaknya. Hera berbalik, dan kaget melihat Ray berdiri di belakangnya, dengan jaket Tottenham Hotspur-nya. Jaket yang dikenali Hera sebagai hadiah ulang tahun ke 20 Ray darinya.

"Sampai tepat waktu, kupikir," kata Ray, ikut duduk di samping Hera. "Belum mau berangkat, kan?"

"Sebentar lagi," jawab Hera. "Kok kau bisa tahu aku di sini?"

"Wah, kau lupa nih, sahabatku siapa saja," ringis Ray. Hera mengerang. Jelas Ken yang memberitahunya.

"Aku minta maaf," celetuk Ray kemudian. "Aku tidak pernah berniat membuatmu sedih begini, Hera."

"Jangan minta maaf, Ray," tukas Hera. "Ini bukan salah siapa-siapa."

Ray mengangguk. Mereka tidak mengatakan apa pun beberapa saat, sampai Hera mendengar panggilan di seluruh bandara. Jadi, sudah saatnya dia pergi. 

"Kau tahu Ray, aku tidak menyesal pergi hari ini. Aku bisa melihat kedua sahabatku, rasanya sangat melegakan," ujarnya. "Oh ya, sampaikan salamku pada Olivia. Dan Amel juga."

Ray mengangguk. Matanya meneliti Hera, mengamati sosok temannya itu. Ray tersenyum mengingat masa kecil yang dilaluinya dengan Hera. Gadis yang manja dan suka mengikutinya kemana-mana dulu, kini sudah dewasa. Sudah siap hidup sendiri. Senyum Ray berubah menjadi muram ketika mengingat hari dimana dia menolak Hera. Wanita itu jelas terluka dan itu semua karena dia. 

"Hera... apa kau percaya waktu orang bilang sakit hati akan berubah menjadi memori?" tanya Ray. Hera memandangnya sejenak dengan alis terangkat. Kenapa Ray tiba-tiba bertanya seperti itu?

"Tentu saja," kata Hera. Tangannya menyambar kopernya dan mencengkramnya erat. Hera memandang ke wajah teduh Ray dengan bola mata berkaca. Senyum masih saja mengembang di wajahnya. "Dan kadang-kadang, kita merasa lucu mengingatnya." []

-------------

Hai! Thanks for all of the readers. Dan untuk yang voment juga. Love you so muuch ><

Don't forget to leave the comment~

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang