"Aku akan menjemputmu jam 7 malam. Kita akan pergi ke satu tempat. Berpakaianlah yang baik,"
Begitu saja, kemudian Ken memutuskan sambungannya. Dengan kesal Amel meremas ponselnya. Amel mendesah panjang lalu melirik jam di dinding. Sudah jam 5. Lebih baik dia membereskan rumahnya kemudian bersiap-siap.
Ken sampai beberapa jam kemudian. Kemarin, Ken menanyakan alamat rumah Amel. Amel kagum, pria itu bisa menemukan rumahnya tanpa halangan.
Amel bisa melihat Ken turun dari mobilnya. Sepertinya dia habis dari perusahaan, melihat stelan jas yang masih dikenakannya. Amel segera menuju pagar rumahnya dan membukanya.
"Lama menunggu?" tanya Ken. "Maaf, banyak kerjaan."
"Tidak juga," Amel mengedik. Dia tak mau pria ini tahu kalau Amel lama menunggu. "Hebat juga kau, bisa tahu rumahku."
Ken mengedikkan kepalanya ke kanan dan kiri dengan cepat, ditambah senyuman bangga. "Sudah kubilang, riset adalah keahlianku."
Ini dia, pikir Amel. Satu lagi sindrome pangeran narsis. "Jadi pergi tidak?" gerutu Amel.
Sebagai jawaban, Ken membukakan pintu mobil untuk Amel ala pengawal. Tanpa banyak bicara, Amel segera masuk.
Perjalanan terasa hening. Baik Amel ataupun Ken, kelihatannya tidak ada yang tertarik memulai pembicaraan. Amel hanya memandang keluar jendela, sementara Ken hanya menatap lurus ke depan sambil mengemudi. Dalam hati, Amel mengakui suasana hening ini sangat nyaman untuknya.
Tapi sialnya, Ken memutuskan untuk merusak kenyamanan Amel. "Kau tinggal sendirian?" tanya Ken.
"Ya," jawab Amel. "Aku menyewa rumah itu sejak kuliah di Medan."
"Dimana rumah orangtuamu?"
"Belawan,"
Ken mengernyit. "Di dekat laut?"
Ya ampun. "Kau pikir semua rumah di Belawan itu di dekat laut?" gerutu Amel. "Ngomong-ngomong, kemana kau akan membawaku?" tanya Amel lagi. Melihat seringai mengerikan di wajah Ken, Amel bergidik. "Awas saja kalau kau macam-macam. Mungkin bukan tulang keringmu saja yang luka kali ini."
"Kau pikir aku orang cabul?" gerutu Ken. "Aku tak akan macam-macam, tidak, lagi pula kau bukan tipeku, jadi mana mungkin aku tergoda."
Amel merasakan panas di pipinya saat Ken tertawa. Ingin rasanya Amel menghantamkan sepatu wadges-nya ke kepala Ken.
"Kita akan bertemu ayahku," lanjut Ken, sesudah tawanya mereda. "Ayahku ingin kita makan malam bertiga. Yeah, denganmu lebih tepatnya. Dia menunggu kita di MW."
Amel mendadak ngeri. "Apa? Kenapa?"
Ken mengangkat bahu. "Tradisi keluarga, katanya. Dia ingin tahu apakah kau memang cocok bersamaku, dan apakah kau pantas mendampingiku ketika aku menjadi CEO nanti."
Amel sudah pasti muntah jika ada kantung muntah di mobil ini. Sayangnya, dia tidak ingin berurusan dengan Ken dan mobilnya jika dia muntah di sini. "Jangan bercanda. Seakan kita akan menikah saja."
"Itu pikiran ayahku," sahut Ken enteng. "Dia tidak tahu kalau kita membuat semacam perjanjian, kan? Jadi, kusarankan agar kau bertingkah baik-baik." Amel penasaran kapan dia akan terbangun dari mimpi buruk ini. Dia pasti membuat kesalahan karena ikut dalam rencana pria ini.
Mereka sampai di Merdeka Walk beberapa menit kemudian. Sebelum mereka turun, Ken langsung mencegat Amel dan menyerahkan kotak berisi cincin kepadanya. "Pakai cincinnya, kalau tidak ayahku akan curiga aku tidak pernah melamarmu," kata Ken. Amel dengan enggan membuka kotaknya dan memakai cincin emas putih dengan berlian itu.
Karena ini malam Jumat, tempat ini tidak seramai malam minggu. Banyak kursi-kursi outdoor yang kosong dan beberapa pelayan terlihat bermalasan karena sedikitnya pengunjung. Ken membawa Amel ke sebuah kursi di depan kios DVD. Di kursi itu, duduklah tuan CEO sendirian sambil membaca majalah. Penampilannya masih sama seperti yang Amel lihat di hari survei itu. Tegas dan sangat berwibawa.
"Papa," panggil Ken. Tuan CEO menurunkan majalahnya dan tersenyum melihat kedatangan mereka.
"Halo. Saya Reynal, ayahnya Ken," dia berdiri, tangannya terulur ke arah Amel.
Amel tersenyum dan menyambut uluran tangannya. "Amel. Senang kenalan dengan Anda."
Reynal tertawa sopan. "Ayo, duduklah kalian berdua," katanya kemudian, mempersilahkan mereka berdua duduk dihadapannya. Amel membuang napas panjang. Semoga malam ini berlalu dengan cepat.
***
"Jadi, bagaimana caranya Ken melamarmu?" Pertanyaan blak-blakkan itu terontar dari mulut Reynal. Ken nyaris tersedak Dim Sum kukusnya. Di sebelahnya, dia mendengar Amel terbatuk hebat. Dasar. Ayahnya sama sekali tidak tau sikon.
"Papa, itu pertanyaan memalukan," sahut Ken. Reynal memberengut sambil menyeduh kopinya.
"Papa hanya ingin tahu," ujar Reynal tak peduli. "Kalau memang serius, langsung saja menikah."
Dan lagi. Amel terbatuk lebih hebat kali ini. "Pa, nanti saja," sahut Ken lagi.
"Nanti apanya? Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, mau usia berapa lagi kau menikah?" tuntut ayahnya. Dia beralih dari Ken ke Amel. "Amel, barapa usiamu?"
"Dua puluh lima tahun," jawab Amel, bibirnya hampir tak bergerak.
"Sempurna! Usia sempurna untuk menikah!" Reynal bertepuk tangan pelan. Mata Amel yang besar itu melotot, seakan pupilnya bisa mencelat kapan saja. Ken tertawa pelan melihatnya. Dia mengakui, wanita ini kelihatan lucu saat dia marah.
Kemudian, ayahnya mulai mengorek latar belakang Amel. Tempat tinggal, pendidikan dan hobi. Dari cerita Amel, Ken tahu kalau dia mahasiswa jurusan Paud dan sedang menunggu S2 nya selesai. Mengenai hobi, seperti yang sudah diketahui Ken, dia suka memasak.
Ken memperhatikan ketika wanita ini bicara. Dia pandai bicara, sangat menyenangkan, easy going dan jelas ayahnya sangat menyukai Amel. Dulu, hanya ada satu wanita yang disukai Reynal dan diizinkannya berada didekat Ken. Hera. Ayahnya jelas menyukai Hera, bukan hanya karena dia anak temannya, tapi karena dia juga pandai bicara dan punya semangat kerja yang tinggi.
Tapi sekarang, semua itu terlihat samar di benak Ken. Dia tidak ingin mengingat apa pun soal Hera. Itu bagai menabur garam di luka yang masih ternganga.
Ken tersadar dari lamunannya ketika dia mendengar dengkingan ayahnya. "Kau mendengarku tidak?"
Ken mengerjap. "Apa?"
"Papa bilang, kita harus sering bertemu," ujarnya. "Nah, sayang sekali, kita harus mengakhiri pertemuan ini. Aku sangat menikmati perbincangan kita, Amel. Tapi, aku masih punya banyak urusan."
Amel mengangguk mengerti dan tersenyum. Ken tafsirkan itu senyuman lega. "Ya, tak apa-apa, Pak."
"Ayah," koreksi Reynal. Amel membelalak lagi. "Kau harus panggil aku ayah."
Ken mendengus senang melihat Amel kehabisan kata-kata. Reynal—tanpa rasa bersalah atau apa pun—menyambar tas kerjanya dan beranjak pergi. "Oh, ya. Sesekali kau harus pulang, Ken."
Ken mengangguk mengerti dan melambai pada ayahnya. Sesudah punggung Reynal menghilang di kegelapan, Amel menoleh kepadanya sambil menunjuk wajah Ken.
"Ini diluar perjanjian kita," katanya marah. "Sudah kukatakan aku tidak mau menikahimu."
"Dan sudah kukatakan, kau juga bukan tipeku," balas Ken. "Sepertinya ayahku sangat menyukaimu. Dia tidak pernah meminta orang lain memanggilnya ayah."
"Tidak lucu," gerutu Amel, melepas paksa cincinnya
"Satu lagi. Pastikan kau memakai cincin itu kalau bertemu keluargaku," Ken memperingatkan.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Not so Beautiful Game[✔]
RomanceTanpa sengaja, Ken terjebak dalam permainan rumit. (Private)