13

9.2K 705 7
                                    

Pagi itu adalah hari libur pertama Amel, tapi dia sudah diganggu dengan panggilan Mei. Mei memberitahunya kalau Ken sedang sakit, dan berhubung mereka semua sibuk, Neneknya meminta Amel untuk menjaga Ken hari itu.

"Aku sudah menyuruh supir pribadi kami untuk menjemputmu dan mengantarmu ke rumah Ken. Oh ya, dan Wina juga ikut ke sana untuk membantumu," kata Mei, seolah Amel akan bersemangat saja mendengarnya.

Dengan terpaksa, Amel pergi ke rumah Ken pagi itu. Rumah Ken memang tidak sebesar rumah keluarganya, tapi rumah Ken sangat mewah untuk ukuran seorang manajer muda. Rumahnya model minimalis, dengan halaman luas.

Ternyata, kondisi Ken memang parah. Dia terbaring lemah di sofa ruang tamunya dengan selimut tebal. wajahnya pucat, dengan lingkar hitam dibawah matanya, serta keringat dingin di pelipisnya.

"Mel, aku masak bubur dulu ya. Kau bisa jaga Tuan Muda," kata Wina beberapa saat kemudian. Amel mengangguk dan membiarkan Wina menghilang ke dapur.

Sambil menghela napas berat Amel berlutut disamping Ken. "Kau sakit, ya?"

"Coba pikirkan... aku sedang terbaring lemah di sofa dengan selimut tebal padahal suhu diluar hampir 30 derajat," gerutu Ken. "Aku sehat sekali, kan?"

Amel mencibir. "Dasar dangkal,"

"Kalau kau datang hanya untuk mengejekku, lebih baik kau meninggalkan Wina saja di sini," tambah Ken, memejamkan matanya.

Amel menyentuh dahi Ken dan merasakan panas menguar di punggung tangannya. "Panas sekali," kata Amel panik. "Tunggu sebentar, aku akan mengompresmu."

Amel kembali dari dapur dengan semangkuk air dan sebuah handuk lembut. Amel menggulung lengan bajunya kemudian mulai mengompresi dahi Ken.

"Kau seperti zombie," celetuk Amel tiba-tiba.

"Aku sedang tidak berminat bertengkar," sahut Ken pelan dengan mata terpejam.

Amel mendecak, masih sibuk mengompres Ken. "Kau benar-benar mengerikan."

Ken mendengus pelan. "Apa kau sedang cemas sekarang?"

"Kau tidak pernah mendengar orang meninggal karena demam, kan?" tanya Amel.

"Diamlah. Aku ingin tidur."

Amel membiarkan Ken tertidur. Beberpa jam berlalu, Wina datang sambil membawa bubur dan kantungan obat.

"Mel, kau tidak keberatan kan kalau aku tidur sebentar di dekat dapur?" tanya Wina, memegangi wajahnya. "Tadi malam aku kurang tidur, aku takut kalau nanti demam."

Ini gawat. Amel tidak ingin Wina sakit. Sudah cukup dia merawat satu orang sakit saja. "Oke, baiklah. Jangan paksakan dirimu."

Wina tersenyum lega. "Kurasa, kau bisa mengurusi Tuan Muda, kan?"

Amel tidak yakin apakah senyumnya kelihatan tulus, yang jelas Wina segera pergi meninggalkan mereka. Amel tidak bisa membayangkan yang lebih buruk lagi terjadi padanya. Dengan pasrah, dia menggoncang lengan Ken, menyuruhnya bangun.

"Waktunya makan," kata Amel. Ken membuka matanya dan bangkit dengan lemas. "Kau tidak ingin pingsan, kan?" tanya Amel, sambil membantunya duduk.

"Ini bukan abad 17 yang membuatmu mati karena demam," gerutu Ken pelan, menarik selimut sampai ke dagunya.

"Okedeh, terserah," sahut Amel, kemudian dia meraih mangkuk buburnya dan menyodorkannya kepada Ken. "Nih, makan."

Ken memandang bergantian dari mangkuk ke Amel. "Apa maksudmu ini?"

Amel tak mengerti. "Makan, lalu minum obat?"

"Bukan," Ken menggeleng. "Aku tidak bisa makan sendiri sekarang. Tubuhku lemas dan aku tidak punya tenaga. Kurasa kau tahu apa maksudnya."

Maksudnya sudah jelas bagi Amel. Dia ingin disuapin layaknya seorang raja. Amel menahan godaan keras melempar bubur itu ke wajah Ken. "Jangan membuatku marah."

"Kau sendiri kan yang datang ke sini?" tuntur Ken. "Nah, jadi kerjakan tugasmu mengurusi orang sakit."

"Bukan mauku datang. Nenekmu yang menyuruhku."

"Oke, telepon nenekku dan bilang kau tidak mau di sini," Ken menyeringai. Amel sudah pasti tidak bisa melakukannya, kalaupun dia ingin. Dia bisa menciptakan masalah. Tak ada pilihan lain untuknya.

"Baik, baik!" teriaknya gusar. Dia segera menyambar sendok dan menyendok buburnya. "Dan jangan pikir aku ini pengasuh yang baik. Tak ada gaya-gayaan pesawat masuk ke gua."

Ken tertawa pelan dan dengan patuh makan buburnya, meskipun Amel secara tersirat ingin membuatnya tersedak.

***

Ken terbangun lagi beberapa jam kemudian, merasakan kepalanya berputar-putar. Sehabis makan, dia langsung minum obat kemudian tertidur lagi. Sial, bahkan sesudah minum obat pun belum cukup membuatnya pulih. Ken meregangkan tangannya, merasakan ngilu-ngilu disekitar sendinya.

Di dekat kepalanya, Ken melihat Amel duduk di karpet, dengan kepala menyandar ke lengan sofa. Dia tertidur. Ken menghela napas dan entah kenapa tersenyum sendiri. Sebelum ini, tidak ada orang lain yang begitu teliti mengurusi dia saat sakit, selain ibunya. Ken heran bagiamana mungkin Amel tahu persis mengurusinya seperti ibunya. Mengompres, memberinya makan dan obat, menemaninya. Ken memperhatikan wajahnya yang tertidur.

Sepertinya dia tidak tidur semalaman, melihat kantung matanya yang menebal. Apa itu karena tesisnya? Ken merasa bersalah karena tidak pernah menanyakan soal itu. Tapi selain itu, wajahnya kelihatan damai-damai saja dan napasnya berhembus teratur. Ken memberanikan diri menyibak rambut yang jatuh di wajahnya. Dia baru menyadari, kalau alis Amel terlihat sangat bagus. Hitam dan berjejer rapih.

Amel bergerak dalam tidurnya, dan Ken buru-buruberbaring lagi. Dipergokin sedang mengamati wanita ini bukan hal yang diinginkannya.[]

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang