Ken baru saja keluar dari kamar mandi ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu dari ayahnya, dan ayahnya bilang kalau dia ingin makan malam bersama di rumah Ken.
Ketika Ken menjabat menjadi manajer dan memiliki tabungan yang cukup, dia langsung membeli rumah untuknya sendiri agar dia bisa bersantai dan jauh dari keramaian. Bagi Ken rumah kedua orangtuanya tergolong ramai karena selain ayah dan ibunya, nenek, adik, serta beberapa pembantunya tinggal di sana. Meskipun rumahnya besar, Ken tidak bisa berkonsenterasi dengan pekerjaannya dalam kondisi seperti itu. Belum lagi adik perempuannya yang suka mengganggunya dan gemar sekali nyelonong masuk ke kamarnya tanpa izin.
Ken mengirim balasan pada ayahnya, mengatakan kalau ia setuju untuk makan malam bersamanya.
Ken melempar ponselnya ke sofa ruang keluarga kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas sofa malasnya itu. Ken memijat-mijat pelipisnya, lelah. Walaupun sudah lewat beberapa hari, namun percakapannya dengan Hera masih terngiang-ngiang di kepalanya. Hera.. Berapa lama lagi dia harus berurusan dengan nama itu?
Daripada memikirkan itu, Ken harusnya lebih mencemaskan ayahnya. Ayahnya sangat menyukai waktu makan malam di rumahnya bersama dengan keluarga, dan dia tidak akan mengorbankan waktu itu untuk apa pun. Sekarang, daripada makan di rumahnya, ayahnya malah memilih makan bersama Ken? Itu berarti ada masalah yang sedang mengganggunya.
Ken melagkah ke dapur untuk melihat persediaan makanannya. Yap, hanya ada mie instan dan telur organik. Ken tidak punya pilihan lain selain memasak itu. Salah ayahnya, kenapa dia datang mendadak.
Langsung saja dia menyibukkan diri di dapur. Sewaktu kecil, dia sering membantu neneknya memasak, jadi Ken paham betul soal masak-memasak. Bahkan dibanding dengan adik perempuannnya, dia lebih jago soal memasak. Adiknya itu.. ah sudahlah, Ken tidak tahu bagaimana menjelaskan adiknya dengan tepat.
Setengah jam dia menyibukkan diri di dapur, Ken mendengar suara bel pintuya. Buru-buru dia mematikan kompornya dan menghampiri pintu.
"Halo, Nak!" sapa Reynal ceria. Di kanan-kirinya terdapat banyak bungkusan.
Ken membuka pintu lebar, mempersilahkan ayahnya itu masuk. "Hai, Papa,"
"Aku mencium bau telur goreng. Apa kau baru saja masak?" tanya Reynal, sambil menjatuhkan tubuhnya di atas sofa malas Ken. Reynal menyelonjorkan kakinya kemudian menyodorkan bungkusan itu pada Ken. "Papa beli banyak makanan. Tak usah memasak lagi. Papa tidak suka mi telur."
Ken meringis sambil menerima bungkusan Reynal. Dari dalam plastik, Ken bisa mencium aroma ayam panggang. "Hei, ini kesukaanku. Tunggu sebentar, biar aku pindahkan ke piring."
"Ya, ya, tidak masalah," Reynal mengibaskan tangannya. "Lagipula, papa mau bersantai sebentar."
Sikap reynal saat di perusahaan dan di luar memang sangat berbeda. Di Twinkle Night, Reynal itu seperti pahlawan yang tidak kenal lelah, selalu tegas dan bersikap serius. Ingin rasanya Ken mengambil foto ayahnya yang malas-malasan, kemudian menunjukkannya pada orang-orang di Twinkle Night. Ha, tunggu reaksi mereka ketika melihat pahlawan kesayangan mereka berleha-leha di sofa empuk yang sangat nyaman.
Reynal langsung bergabung dengan Ken setelah meja makan siap, mengusap-usap tangannya terlebih dahulu sebelum makan.
"Apa kata nenekmu sebelum makan?" tanya Reynal, tersenyum jahil ke arah Ken selagi mengarahkan sendoknya ke mulut.
Ken melambaikan tangannya ala flamboyan dan berkata elegan, "Bon appétit, monsiur et madame et mademoiselle." Itu adalah tradisi keluarga mereka. Nenek Ken hobi mengatakan hal-hal panjang sebelum makan, tanpa memedulikan kondisi perut mereka meskipun sudah kelaparan stadium akut.
"Terlalu lama!" seru Reynal yang langsung memasukkan makanan ke mulutnya tanpa menunggu Ken selesai bicara.
Obrolan mereka berlanjut seputar cuaca, musik dan olahraga. Suasana itu terasa menyenangkan untuk Ken, sampai ayahnya memutuskan untuk mengatakan tujuannya makan malam bersamanya.
"Ken, perusahaan kita sedang mengalami penurunan," kata Reynal, tangannya memutar garpu di piringnya.
"Apa para investor menarik saham mereka?" tanya Ken. Ini pertama kalinya Reynal kelihatan begitu gelisah, dan Ken tidak suka melihatnya. Hanya ada satu kepastian saat ayahnya gelisah, yaitu hal buruk yang benar-benar terjadi.
"Tidak, bukan itu," Reynal menarik napas. "Kurs permintaan lebih rendah daripada penjualan. Kalau kita tetap bertahan, bisa-bisa semua investor menarik bagian mereka. Dan kita bisa kehabisan modal."
Ken memandang ayahnya tak yakin. "Jadi.. apa yang papa rencanakan?"
"Salah seorang teman papa, yang juga pengusaha, dengan senang hati membantu kita tanpa minta bagian. Asalakan..."
"Asalkan?"
"Asal kau menikahi puterinya."
Ken terdiam. Oke, sekarang Ken tahu tujuan sebenarnya ayahnya datang ke sini. Ken tidak tahu sejak kapan ayahnya berniat melibatkan dia dalam 'Ajang Pencari Jodoh' antar pengusaha. Ken tidak pernah membayangkan dirinya yang hidup di abad ke 21 ini harus menjadi korban perjodohan dan nikah paksa.
Ken mendecak tak percaya. "Papa, ini bukan jaman Siti Nurbaya... atau Wuthering Heights, kalau papa tidak tahu Siti Nurbaya."
"Ken, tapi ini satu-satunya cara untuk mempertahankan perusahaan kita," jelas Reynal, setengah memohon. "Dan papa tahu cerita Siti Nurbaya."
Soal perusahaan memang benar. Ken tidak bisa melihat perusahaan yang sudah didirikan kakeknya hancur begitu saja. Tapi Ken tidak percaya kalau penjodohan ini adalah satu-satunya cara. "Papa, apa kau ingin aku menikah dengan wanita yang tidak kukenal atau tak pernah kulihat sebelumnya?" tanya Ken.
"Oh, papa yakin kau pasti mau menikahinya," ujar Reynal berapi-api. "Pasti."
Ken memijat pelipisnya. "Terserah, deh. Kalau tujuan papa datang ke sini cuma untuk itu, ini sama sekali tidak berguna." Ken meraih gelas terdekat dan meminum air putih banyak-banyak. "Aku sudah pasti tidak mau."
"Papa yakin kau mau," Reynal memasukkan sendok ke mulutnya dengan santai.
Ken memijat pelipisnya lagi. Berdebat dengan ayahnya tidak ada artinya, tapi kali ini Ken tidak akan mengalah. Pasti ada cara lain untuk menyelamatkan perusahaannya.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Not so Beautiful Game[✔]
RomanceTanpa sengaja, Ken terjebak dalam permainan rumit. (Private)