14

10.2K 697 7
                                    

Esok harinya, Madame L'vory sendiri yang menelepon Amel, dan dalam bahasa Indinesia yang tidak dimengerti Amel dia memintanya untuk menjaga Ken lagi. Amel ingin menolak—dia sudah menyiapkan segudang alasan, tapi Madame L'vory agak menyebalkan ketika memaksa. Jadilah, Amel pasrah dan pergi lagi.

Untungnya, Wina sehat-sehat saja hari itu. Dia sedang menyapu halaman ketika Amel sampai ke rumah Ken. "Aku ingin berkebun dulu. Madame L'vory menitipkan banyak tanaman tadi pagi dan dia ingin rumah Ken sedikit hijau," kata Wina cerah. Amel mengangguk asal.

Ken jauh lebih baik dari kemarin—setidaknya dia sudah bisa duduk tegak di sofanya—dan sedang membaca buku. Dia mendongak dari bukunya ketika Amel datang.

"Bonjour, Miss Grin" sapa Ken, separo mengejek.

"Kau memanggilku apa?" dengus Amel.

"Grin—menggeram. Kau kan gemar menggeram," jelas Ken santai.

"Apapun, lah," sahut Amel malas. "Kayaknya kau sudah baikan."

Ken mengedikkan bahu. Mendadak dia melempar bukunya dan berkata, "Emm, Mel, bisa aku minta tolong?" tanyanya dengan wajah merah, membuat Amel curiga. "Bisa kau buatkan aku bubur lagi? Jujur saja, buatan Wina tidak enak."

Amel meledak tertawa. Rupanya meminta pertolongannya adalah aib bagi seorang Ken. Masih terkekeh, Amel segera beranjak ke dapur. Langsung saja dia menyibukkan dirinya memasak.

Beberapa jam kemudian, Amel menyodorkan semangkuk bubur kepada Ken. "Makan sendiri, kau sudah sehat!" kata Amel galak, sebelum Ken sempat buka mulut. Ken menghela napas kecewa, tapi dia tetap menurut dan makan dengan patuh.

Karena bosan, Amel mulai melakukan tur keliling rumah Ken. Sepeti rumah-rumah minimalis lainnya, rumah Ken tak jauh beda, kecuali furnitur-furnitur rumahnya kebanyakan barang impor. Amel yakin lampu di ruang kerjanya diimpor entah darimana, dan dia berani bertaruh guci di sudut tangganya dibuat di Cina.

"Kau mengoleksi barang beginian?" Amel shock saat melihat  gramophone beserta piringan-piringan hitamnya di atas meja sudut ruangan. Dalam benak Amel, Ken adalah pria modern yang selalu mengikuti perkembangan teknologi dan mencintai barang-barang canggih. Ia tak menyangka Ken mau mengumpul barng-barang antik.

"Jangan asal pegang!" peringat Ken, sewaktu Amel meraba-raba piringannya. "Kukumu bisa menggores piringannya."

"Tidak ada gelombang elektromagnet di tanganku," balas Amel lelah. Pria ini benar-benar perfeksionis! "Oh, kau mengoleksi Queen juga?"

"Aku suka musik jazz," jawab Ken. "Tapi aku lebih suka Whitney Houston lagi."

Amel melanjutkan turnya ke lantai atas. Dia sedikit kaget ketika mendapati sebuah ruangan kecil yang penuh dengan kanvas dan lukisan. Cat-cat dan piringnya berserakan di atas meja kayu, dan jendelanya tidak dibuka.

"Wah, kau masuk ruangan pribadi tanpa izin," celetuk Ken, yang tahu-tahu berdiri dibelakang Amel. Amel melompat kaget.

"Bikin kaget saja," gumam Amel. Dia mengedarkan pandangannya lagi ke arah lukisan-lukisan yang sudah jadi. "Kau melukis juga?"

"Aku ini bisa melakukan apa saja."

Amel mencibir. "Kau harus dengar lagu Enya, kapan-kapan. 'If every man, says all he can. If every man is true'," kata Amel. "Heran juga. Kau kan sibuk, kok sempat melukis?"

Ken menghampiri salah satu lukisannya—pohon mapel di musim gugur, dengan daun yang mulai memerah—dan mengelusnya. "Kulakukan kalau sedang stres."

Amel mendecak. "Masa iya? Kebanyakan orang stres melakukan yoga," katanya. "Tapi, kurasa kau punya bakat."

Ken memandang Amel, seulas senyum mengambang. "Dulu, aku tak pernah ingin bekerja di perusahaan. Aku hanya ingin melukis," Ken mulai cerita. "Tapi ayahku melarangnya. Pernah sewaktu SMA, aku ketahuan menggambar saat les matematika. Dia marah besar, aku tak pernah lupa kata-katanya. Jadi, aku menyembunyikan semua karya-karyaku."

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang