24

8.7K 638 1
                                    

Amel berlari sepanjang bandara, mencari sosok orang yang ingin ia temui.

Siang tadi, dia dikejutkan oleh telepon Ray, yang memberitahunya kalau Vero akan pergi ke Spanyol untuk lanjut S2nya. Yang mengejutkan Amel, adalah pernyataan Ray kalau Vero mungkin tidak akan kembali ke Medan dan kenyataan kalau Vero tidak ingin Amel tahu dia pergi. Amel mengutuk Vero saat itu juga, kemudian tanpa pikir panjang dia langsung mencari taksi untuk mengejarnya ke bandara.

Amel benar-benar takut membayangkan Vero pergi tanpa menemuinya dulu. Dalam hati, Amel merasa tidak enak dengan Vero. Dia baru tahu kalau Vero menyukainya dan peduli padanya, tapi Amel malah menolaknya. Amel juga terus menyalahkan dirinya karena hanya menyukai Ken, pria yang bahkan tidak bisa diraihnya. Tapi itulah cinta, pikir Amel. Seberapa pun sakitnya, tetap tidak bisa dihilangkan begitu saja.

"Vero, dimana kau?" bisik Amel kelelahan, matanya mencari dengan putus asa. Sekian banyak orang di bandara, tapi tidak ada wajah Vero di sana. Apa artinya Vero sudah pergi?

Tidak boleh, pikir Amel. Dia belum sempat berterima kasih, atau meminta maaf kepadanya. Bagaimana Amel bisa menjalankan hidupnya dengan tenang kalau begini?

Amel terduduk lemas di kursi tunggu. Tangannya mengutak-atik ponselnya, berusaha menghubungi Vero. Tapi hasilnya nol, karena ternyata ponsel Vero sudah dimatikan. Itu artinya dia sudah di dalam pesawat.

Dengan sebal Amel memijati pelipisnya. Kalau saja dia lebih cepat datang..

"Amel, sedang apa kau?" tanya suara yang dikenal Amel dengan baik.

Amel langsung bangkit dan mendesah lega, "Vero!"

Mereka segera pegi ke food court terdekat dan memesan minum. "Biar aku yang bayar," kata Vero kemudian, ketika Amel hendak menyerahkan beberapa lembar uang kepada si penjaga kasir.

"Tidak usah.."

"Tak apa-apa. Anggap saja ini kali terakhir aku mentraktirmu," potong Vero ramah. Amel semakin bersalah dibuatnya.

Amel memutar-mutar sedotannya dengan canggung. "Jam berapa pesawatmu take off?" tanya Amel.

"Satu jam lagi. Aku masih punya waktu setengah jam," jawab Vero, sambil mengecek arlojinya.

"Kenapa kau tidak bilang kalau kau akan pergi?" tanya Amel. "Apa karena kau membenciku?"

Vero menggeleng. "Kalau aku membencimu, aku tidak akan mentraktirmu, kan?" gurau Vero. Amel menatapnya dengan serius, sehingga Vero berhenti tersneyum. Wajahnya kelihatan lebih tirus dan sangat sedih. "Tidak, aku tidak membencimu Mel, sungguh."

"Jadi kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau mau pergi?" tukas Amel.

"Aku bermaksud menguar di udara," Vero mengedikkan bahunya. "Kau tahu, menghilang seperti Little Mermaid, tanpa ada penyesalan."

Mata Amel mulai berkaca-kaca. "Apa kau pergi karena aku?"

"Tidak juga," jawab Vero. "Aku tidak menyalahkanmu, Mel. Aku tidak bisa memaksamu menyukaiku. Dan aku sudah membuat situasi tak nyaman antara kau dan Kak Ken."

"Maaf," gumam Amel kemudian. Tidak ada yang bisa dikatakannya lagi kepada Vero.

"Aku lebih suka kalau kau bilang 'Selamat Tinggal' daripada 'Maaf'," sahut Vero. "Kau harus menemani Kak Ken selalu. Dia sudah banyak menderita karena Hera dan kakakku, jadi kuharap kau bisa mencintainya dengan tulus."

Amel tidak tahu harus menjawab apa. Barusan Vero mengatakan hal-hal begini, apa dia tidak merasa sakit atau sedih? Tapi saat melihat senyum tulus Vero, Amel tahu satu hal. Mungkin beginilah cara Vero mencintainya.

"Terima kasih banyak, Vero."

"Nah, kata-kata itu aku menyukainya," sahut Vero.

Kemudian terdengar panggilan-panggilan di sepanjang bandara, menyerukan para penumpang untuk segera check in dan sebagainya. Vero menyandang ranselnya dengan cepat, kemudian mulai mengeluarkan paspor, tiket dan identitasnya.

"Aku bilang bulan dan matahari tidak pernah bertemu. Tapi aku salah. Dari sekian banyak kemungkinan, bulan dan matahari dipertemukan. Itulah gerhana," kata Vero. "Kalau begitu.. selamat tinggal, Mel," lanjut Vero, sambil mengulurkan tangannya kepada Amel.

"Jaga dirimu, Vero," Amel menerima uluran tangannya, kemudian mendongak. Senyum Vero mendadak sirna, digantikan dengan ekspresi sedih. Vero buru-buru melepaskan tangannya kemudian berbalik pergi.

"Vero!" panggil Amel terakhir kalinya, ketika punggung Vero mulai menjauh. "Aku memang membuatmu sedih.. tapi kau tetap akan mengingatku, kan?"

"Ada kutipan yang bilang 'Sakit hati akan berubah menjadi memori'," jawabnya. Lalu Amel tersenyum saat melihat senyuman Vero.

Kemudian pria itu melambai kepadanya untuk yang terakhir kali. Amel mengawasi saat punggung pria itu membaur dengan orang-orang, kemudian menghilang. Pria itu sudah pergi dari hidupnya, mungkin untuk selamanya.

Tapi semuanya akan berubah menjadi memori.


***


"Vero memintaku untuk memberikanmu ini," kata Ray pada sore harinya. Saat itu, dia mengunjungi Amel di rumahnya sambil membawa sebuah bungkusan.

Amel menerima bungkusan biru itu, menarik pitanya yang berwarna perak dan membukanya. Isinya adalah sebuah cokelat panjang.

"Cokelat?" tanya Amel bingung.

"Dia ingin memberikanmu itu waktu pesta di rumah orang tua Ken," sambung Ray. "Tapi karena terjadi ini-itu, dia mengurungkan niatnya."

Amel mengamati cokelat itu. "Aku betul-betul menyesal, Ray," celetuk Amel. Benar, dia sangat menyesal. Dan perlakuan baik Ray kepadanya membuat Amel merasa bersalah lagi.

Ray menatap langit, setengah menerawang. "'Jangan menyesali masa lalu, bangkitlah untuk menghadapi masa depan' itu adalah nasehat ibuku dulu," jelas Ray. "Jadi, kau juga harus memikirkan ke depannya. Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku tidak tahu," jawab Amel. "Mungkin aku akan kembali ke rumah ibuku di Belawan selagi menunggu tanggal wisudaku."

"Dan soal Ken?"

Amel terdiam sejenak. "Itu terserah Ken. Apa pun keputusannya, aku akan menerimanya." []


Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang