29

14.6K 694 7
                                    

"Loh, mau pulang deluan, Lista?" tanya Amel, mengecek arlojinya berkali-kali. Lista tergopoh-gopoh membereskan bukunya dan menjejalkannya ke dalam tas kantor hitamnya.

"Iya nih, suamiku tadi nelepon, katanya Arshin mendadak demam," jawab Lista dengan kecepatan kata yang luar biasa. Arshin, anak Lista, usianya kira-kira baru setahun dan kelihatan sangat sehat. Amel tak percaya anak itu bisa sakit juga.

"Oke, cepat pulang sana," desak Amel. "Sampaikan salamku pada Arshin, dan semoga cepat sembuh."

Lista mengangguk. "Thank's, Mel. Jangan terlalu capek, ya, cuma karena baru jadi kepsek seminggu."

Amel mencibir melihat punggung Lista yang menjauh. Benar, seminggu yang lalu, Indrina mendapat tawaran posisi di Dinas Pendidikan, jadi dia memandatkan jabatan kepala sekolahnya kepada Amel. Jelas saja Amel sangat senang. Sudah banyak yang ingin dia lakukan untuk sekolah ini dengan jabatannya. Salah staunya adalah perbaikan AC di kantor guru.

Amel melirik jam dindingnya, dan kaget melihat jarum jam yang tertunjuk. Pukul 6, dan dia keasyikan menulis jurnalnya sampai lupa waktu. Buru-buru Amel menutup jurnalnya dan bergegas pulang.

Entah kenapa, Amel manyun terus sepanjang jalan. Pikirannya yang macam-macam bercampur aduk. Otaknya sangat hebat menurut Amel, karena sampai sekarang benda itu belum meledak juga.

Gerimis turun tiba-tiba, membuat Amel tersadar dari pikiran-pikirannya. Menyadari dia yang tidak bawa payung dan tidak ingin kehujanan, Amel berlari sepanjang gang rumahnya.

Amel agak sedikit bingung, ketika sampai di depan rumahnya. Pagar rumahnya dipasangi banyak balon, yang terbang ke sana ke mari akibat angin kencang. Kemudian yang paling mengejutkannya, sosok pria berjaket hitam, yang menutupi kepalanya dengan tudungnya, berjalan mondar-mandir di sekitar pagar rumahnya sambil memegangi balon-balon yang hampir terbang.

Sepertinya pria itu ingin menyamar, menurut Amel. Tapi sekeras apa pun pria itu berusaha menyembunyikan dirinya, Amel tahu siapa dia.

"Ngapain kau, Ray?" todong Amel langsung.

Ray berbalik dengan kaget. Saking kagetnya, balon-balon itu lepas dari genggaman tangannya dan terbang ke langit sore yang mendung. 

"Eh.. Oh, Mel.. sudah pulang? Cepat..?"

Ray jelas gugup. Senyumnya terlihat takut-takut, dan ekpresi wajahnya mirip sekali dengan balita yang ketahuan makan tanpa mencuci tangannya dulu.

Amel bersidekap tangan, dan memandanginya. "Untungnya pulang cepat. Kau ngapain sih, Ray? Aku sedang tidak berulang tahun. Lagian gerimis-gerimis gini, bagaimana kalau kau kehujanan?"

"Ah.. itu.. anu," Ray menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Bibirnya terbuka tertutup, tapi tidak ada jawaban yang keluar. Kemudian, wajah Ray berubah ceria dan berjalan melewati Amel. "Kau saja yang menjelaskan."

Amel tahu Ray tidak bicara padanya. Merasa heran dengan tingkah temannya ini, Amel berbalik, mengikuti arah pandang Ray. Kemudian, apa yang dilihat Amel lebih mengejutkan daripada balon-balon disekitar pagarnya.

Seorang pria kini berdiri di ambang pagar. Pria tinggi tegap, dengan rambut hitam kecokelatan, serta mata abu-abu yang dikenal betul oleh Amel. Pria itu memakai kaos dan jaket jeans, serta celana jeans belel yang diingat Amel. Saat pria itu menatapnya, Amel yakin tatapannya tak jauh berbeda dengan pria itu. Seolah waktu disekitarnya berhenti, dan tidak ada yang nyata disekitar mereka. Seolah hanya ada mereka berdua.

Ray menghampiri pria itu, kemudian menepuk pelan bahunya. "Maaf, Sobat. Kurasa aku menghancurkan kejutannya. Siapa sangka bakal hujan begini."

"Ray.." gerutunya, pipi pria itu bersemu merah.

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang