"Bos, kau kelihatan kurang sehat," suara Leo menyadarkan Ken dari lamunannya. Ken mengerjap-ngerjap dan mendapati Leo sedang menatapnya bingung. Oke, dipergokin bawahan sedang melamun bukan hal yang diinginkan Ken.
"Sampai dimana tadi?" tanya Ken. Leo menghela napas dan membalik lembar pertama di clip boardnya lagi.
"Bagaimana soal pertemuan dengan perusahaan wallpaper di Beijing?"
"Di Beijing?" tanya Ken. Leo melongo tak percaya. Jadi selama seperempat jam tadi, ternyata Leo berkoar-koar di depan sebuah patung.
"Bos, kau sedang tidak konsenterasi. Aku tidak bisa melanjutkan," kata Leo pasrah. Dia memutuskan untuk menangani bos-nya dulu. Percuma saja dia menjelaskan ini-itu kalau pikiran bosnya tidak di sini. "Jadi, apa masalahmu?"
Ken mendesah panjang sebelum bertanya, "Kalau kau membuat masalah besar tanpa pernah merencanakannya, apa yang akan kau lakukan?"
"Maksudnya?" tanya Leo tidak mengerti dengan penggunaan kata Ken. "Semua masalah itu memang datang tanpa direncanakan."
Gantian Ken yang memandang Leo bingung. "Aku tidak mengerti maksudmu," gumamnya. "Sudahlah, ayo kita lanjutkan lagi."
Leo baru saja membuka lembar pertama ketika ponsel Ken berdering. Ken mengumpat pelan dan buru-buru menyambar ponselnya.
"Halo?" sapa Ken setengah membentak.
"Ken? Apa yang terjadi?" terdengar balasan suara yang tak asing baginya. Ken menurunkan ponselnya, menatap nama penelepon. Astaga, nomor telepon rumahnya.
"Mama?" sapa Ken, menurunkan suaranya agak terlalu cepat.
"Kau baik-baik saja, Nak? Kenapa teriak-teriak begitu?"
"Tidak apa-apa, maafkan aku," kata Ken, lelah. "Ada masalah apa, Ma?"
"Papamu sudah cerita soal Amel—" Ken sontak menegakkan tubuhnya, "—dan nenekmu merasa tersinggung karena dia tidak dilibatkan dalam hal ini. Jadi, nenekmu meminta kau mengajaknya ke rumah sore ini."
Ini dia. Masalah lagi. "Ma, aku tidak bisa."
"Nenekmu memaksa. Kalau kau tidak ingin dia bertambah marah, ajak dia ke sini. Oke, sampai nanti."
Ken mengenggam keras ponselnya, sampai-sampai Leo takut ponsel itu remuk di tangan Ken. Leo tahu berapa harganya iPhone itu.
"Buka jendela ruangan ini, Leo!" bentak Ken di kursinya.
Leo memandangnya heran. "Hah? Apa yang akan kau lakukan?"
"Membuang ponsel ini."
"Tahan bos!" seru Leo, menyilangkan tangannya di depan Ken. "Ingat harganya. Dan data yang tersimpan di dalamnya."
Ken mengatur napasnya dan dengan kesal membanting ponselnya ke meja. "Nah, lanjutkan pembicaraan kita tadi."
Dan kali ini, Leo tidak peduli soal bosnya yang sedang tidak berkonsentrasi dan mulai membacakan kertas-kertas itu. Yang ia tahu, bosnya sedang marah dan membantah kata-katanya saat ini sama saja dengan bunuh diri.
***
Seperti kata Vero, album Slow Rock versi 2 sudah muncul minggu ini. Track list-nya juga sama bagusnya dengan track list versi 1. Amel memegangi benda itu seperti cawan suci kemudian segera menuju kasir.
"Hai Amel!" seru seseorang dari luar toko. Amel tersenyum otomatis melihat orang yang menyapanya.
"Hai," sapa Amel ramah kepada Vero. Sore itu, Vero tidak datang sendirian. Ada seorang pria yang datang bersamanya. Pria itu tinggi, memakai hoodie hitam, serta rambut ikal yang jatuh berserakan di dahinya dan bermata cokelat gelap. Dari jarak mereka berdiri, Amel bisa merasakan aura positif dari pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not so Beautiful Game[✔]
Lãng mạnTanpa sengaja, Ken terjebak dalam permainan rumit. (Private)