22

8.7K 667 6
                                    

"Kau kelihatan pucat. Apa kurang makan?" tanya Vero. Siang itu, Amel dan Vero sedang nongkrong di salah satu tempat makan di sepanjang jalan dr. Mansur. Amel tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, tapi beberapa kali Vero membuat percakapan dan yang terlintas ditelinga Amel hanya suara dengung nyamuk.

"Aku tidak apa-apa," jawab Amel, buru-buru menyesap minumannya untuk menghindari kecurigaan Vero.

"Aku tahu kau tidak nafsu makan," kata Vero. "Dari tadi kau tidak menyentuh makananmu. Tidak sedikit pun."

Amel baru sadar kalau di depannya terhidang sepiring steak ayam beserta risol dan satai kerang. Sejak kapan makanan ini datang? Atau lebih tepatnya, sejak kapan dia memesan makanan ini?

"Oh," hanya itu yang bisa digumamkannya. Kemudian dia mengambil asal pisau dan garpunya dan mulai menyuap steaknya. Entah memang rasanya tidak enak atau selera makannya saja yang buruk, tapi Amel merasa hambar sekali.

"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Vero cemas.

Iya, banyak sekali malah. Amel memaksakan senyum kecil dan menggeleng cepat. "Tidak ada."

Vero menaikkan sebelah alisnya. "Jangan bohong, Mel. Aku tahu kau punya banyak masalah. Kau bisa cerita."

"Tidak ada, beneran."

"Apa ada hubungannya dengan Kak Ken?"

Susah payah Amel menelan potongan steaknya. Amel berusaha mengatupkan bibirnya selagi dia menggeleng keras. "Tidak, kok."

Vero tidak mendebatnya. Dia hanya memandang ke arah Amel, yang malah membuatnya risih. Ada apa lagi dengan Vero? 

"Tahu cerita matahari, bulan dan awan, tidak?" tanya Vero. Amel menggeleng.

"Matahari selalu bersinar, sangat terang dan gagah. Cahayanya berlimpah bagai emas, dan dialah yang hampir mengayomi hari-hari di di bumi. Lalu ada bulan, yang selalu bersinar dengan cahaya lembutnya. Bulan memberikan harapan pada orang-orang, karena ternyata di dalam malam yang sangat gelap masih tersimpan cahaya yang meneranginya," kata Vero. "Tiba-tiba bulan jatuh cinta dengan matahari yang perkasa itu. Tapi karena bulan dan matahari tidak pernah ditakdirkan untuk bertemu, mereka tidak pernah bersatu. Dan bulan selalu bersedih. Karena dia sedih, dia tidak pernah bersinar lagi. Dan orang-orang menjadi kehilangan harapan mereka."

"Kasihan sekali orang-orangnya," tanggap Amel.

"Bulan tidak seharusnya bersedih," sambung Vero, tanpa menggubris Amel. "Karena tanpa sepengetahuan bulan, awan, yang nyaris tak terlihat tapi selalu hadir di langit, peduli kepadanya. Tidak seharusnya bulan berharap pada matahari. Karena sebetulnya, awanlah yang senantiasa mendampinginya, bagaimana pun cuaca malam itu."

Amel terdiam. Dia tidak yakin kemana arah pembicaraan ini. "Kemana arah cerita ini?"

Vero mendongak dan menatap lurus ke Amel.

Oh tidak, semoga saja tidak..

"Awan mencintainya, walaupun bulan tidak menyadarinya. Dan awan selalu hadir kapan pun bulan membutuhkannya. Dan dia masih tetap hadir kalau bulan tidak membutuhkannya."

Amel menunduk, memutar-mutar tusuk sate kerangnya. Amel tahu pasti maksud Vero. Dan tidak, Amel tidak ingin ini terjadi. Dari semu kemungkinan yang ada di dunia ini, Amel tidak ingin ini terjadi.. "Maaf Vero, aku tidak bisa."

"Bahkan tidak bisa memberiku kesempatan?"

Amel merasa semakin buruk setelah menjawabnya. "Tidak, Vero. Aku betul-betul menyesal," katanya. "Karena bulan mencintai matahari, lebih dari awan mencintai bulan."

Vero tidak bereaksi apa-apa. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan. Wajahnya terlihat sangat tenang dan biasa-biasa saja. Seolah mereka sedang mengobrolkan cuaca hari ini.

"Kalau begitu tidak ada yang bisa dilakukan awan selain melihat dai kejauhan."[]

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang