12

9.3K 753 7
                                    

Saat malam semakin larut, satu per satu mereka semua memasuki kemah. Anak laki-laki menempati satu kemah, dan anak perempuan menmpati dua kemah lainnya.

Di kanan kirinya, Ken bisa mendengar ayahnya, Jiro dan Ray sudah tertidur pulas. Ken memandangi langit kemah, tidak bisa tidur. Pikiran-pikiran berkutat di kepalanya. Kenapa? Kenapa dia harus membuat permainan begini? Kenapa Hera tidak pernah behenti mengganggunya? Dan kenapa dia merasa luar biasa marah melihat perlakuan Hera pada Amel?

Merasa frustasi karena langit-langit kemah yang terlalu rendah, Ken segera keluar dari kemahnya. Dia menghirup napas dalam-dalam, merasakan udara dingin pegunungan memenuhi paru-parunya.

Dia baru saja mau melangkah masuk ketika melihat Amel duduk di batang kayu besar, tepat di depan api unggun yang menyala sangat kecil. Ken heran melihat wanita itu masih duduk di sana jam segini, dan dalam hawa dingin begini pula! Padahal tidak ada lemak pada tubuhnya yang bisa terbakar untuk menghangatkannya.

"Ngapain malam-malam begini masih di luar?" tanya Ken, sambil menghampirinya.

Amel menoleh dan hanya mengedikkan bahunya. "Tidak bisa tidur. Kau juga ngapain?"

"Tidak bisa tidur juga," keluh Ken, kemudian dia memutuskan untuk duduk di sebelahnya. Amel tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mendongak, menatap langit malam yang terselimuti kabut tipis. Ken tidak tahu apa yang dipikirkan wanita ini, tapi wajahnya cukup tenang untuk ekspresi seseorang yang sedang berpikir.

"Apa yang kau lihat?" tanya Ken, penasaran.

"Andromeda," sahutnya. "Cerita Yunani kuno dulu, Andromeda adalah seorang puteri yang ditawan, sampai Perseus datang menyelamatkannya."

"Dimana? Apa kelihatan dari sini?" Ken ikut-ikutan mendongak. Beberapa kali ayahnya menceritakan soal dongeng itu, tapi seberapa keras usaha Ken melihat bintang setiap malamnya, dia tidak pernah bisa menemukan andromeda. Entah karena penglihatannya betul-betul parah, atau langit malam Medan sudah tercemar asap yang luar biasa tebal sampai-sampai para bintang enggan menampakkan diri mereka.

"Mereka tetap ada walaupun tidak terlihat," gumam Amel.

"Aku hanya melihat hal yang jelas dan pasti," jawab Ken, separo mencemooh.

"Makanya pikiranmu benar-benar dangkal,"

Ken tidak menggubrisnya. Wanita ini!

"Kau ini, benar-benar..." Ken tidak melanjutkan kalimatnya. Amel sedang bersin, dan kedengarannya dia flu berat. Hidungnya memerah, dan bibirnya sedikit gemetar. "Apa kau.. sakit?"

Amel menggeleng. "Udara dingin, kurasa," sahutnya. "Kan sudah kubilang aku benci acara begini. Ubun-ubunku hampir beku."

"Siapa suruh tidak bawa topi," cibir Ken.

"Mana kutahu jadi begini," balas Amel. "Seseorang tiba-tiba membujukku dengan jutaan ancaman, dan dia tidak peduli kalau aku mati asal dia bisa selamat dari masalahnya."

Ken geleng-geleng dengan penuh gaya. "Kejam sekali manusia itu."

"Dan orangnya sangat sarkastik dan menderita sindrome pangeran narsis."

Apa itu sindrome pangeran narsis, Ken tidak tahu. Yang ia tahu, dia sudah memaksa Amel ke sini sambil mengancamnya. Dan Ken sadar, setidaknya dia harus bertanggung jawab sekarang. Dia tidak bisa membiarkan wanita ini sakit di tempat begini, apalagi mati kedinginan di lereng gunung.

"Nih," Ken mencopot topinya sendiri dan menyodorkannya kepada Amel. Amel meliriknya dengan tatapan yang tidak disukai Ken. Sial, tatapannya! Seolah dia ditemukan di tengah hutan sedang menguliti seekor harimau putih saja.

Amel menerima ragu-ragu. "Tidak ada bom cat atau permen karet di dalamnya, kan?"

"Jadi, niat baikku cuma dianggap begini?"

Amel tertawa. Betul-betul tertawa. Tawa pelan yang terdengar tulus. Berbeda dengan tawa-tawa ketika dia bersama Mei atau bersama Yumei.

"Trim's, deh," kata Amel sambil memakai topi itu, masih dengan senyum lebar. Ken tahu dia tidak memkai topi sekarang, tapi kepalanya tidak dingin sama sekali. Malah dia merasa hangat.

"Aku minta maaf soal Hera," kata Ken tiba-tiba, saat dia teringat sikap Hera kepadanya tadi. "Aku tidak tahu dia kerasukan apa tadi."

"Tidak apa-apa," jawab Amel. "Yang dikatakannya benar, jadi kenapa aku harus marah?"

"Tahu tidak, kupikir kau ini aneh," Ken menggeleng pelan. Dia tidak mengerti cara kerja pikiran wanita ini. Apa Amel tipe orang yang suka kekerasan pada dirinya sendiri? "Semua orang dimana pun bakal marah kalau diperlakukan begitu. Apa kau mencoba jadi peri baik hati?"

Amel tidak langsung menjawab. Dia berdiam beberapa detik sebelum mendesah panjang dan menjawab, "Aku tidak punya apa-apa. Dan kalau aku tidak punya hati yang baik, apa yang tersisa untukku?"

Ken tertegun mencerna kata-katanya. Yang dikatakannya cukup singkat, tapi mengandung jutaan makna. Selama ini, Ken mengira kebikan hati seseorang hanya formalitas belaka, sebagai penutup manusia agar bisa bergaul baik dengan orang lain dan mendapat keuntungan darinya.

Ken pernah baca kalau kebaikan hati seseorang adalah harta yang tak terduga. Dulu, dia menganggap kalau kutipan itu hanya sampah. Tak ada kebaikan yang nyata di dunia ini. Tapi sekarang, Ken tidak seyakin sebelumnya.

Mungkin acara camping ini tidak seburuk yang di aduga[]

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang