7

12.9K 790 6
                                    

"Wanita monster," maki Ken, memegangi tulang keringnya yang membiru. Malam itu, dia duduk di sofa malasnya sambil mendengarkan lantunan Hey Jude nya The Beatles. Ken meraih baskom di depannya, memeras handuk didalamnya dan mengompresi tulang keringnya.

Kalau saja ayahnya tidak membawa Hera ke sana pagi tadi, mungkin Ken tidak akan melibatkan wanita tadi di dalam masalahnya. Dan juga dia tidak harus berurusan dengan tulang kering membiru.

Ken mendengar ponselnya berdering di sebelahnya. Ken meraihnya dan mendesah selagi melihat peneleponnya. Buru-buru dia mematikan musiknya dan menjawab telepon. "Ya, Papa?"

"Ken! Kemana wanita itu sepanjang siang tadi?" suara reynal terdengar dua kali lipat lebih keras, dan terdengar tidak senang.

"Apa maksud papa?" tanya Ken, memijati pangkal hidungnya.

"Kau tahu apa maksudku," sangkal Reynal. "Kenapa kau tidak mengajaknya makan siang bersama kami?"

"Yeah, err.. papa tahu kan dia guru TK? Dia bilang dia merasa malu untuk betemu Papa," Ken berbohong habis-habisan. Yeah, bisa dibayangkan Ken apa jadinya kalau wanita itu mendengar dia berbicara seperti itu. Mungkin wajahnya akan dihajar sampai babak belur? Entahlah, Ken tidak peduli. Lagi pula, dia memang ingin balas dendam atas tulang keringnya.

"Dan kau tidak berusaha meyakinkannya?" tuntut Reynal. "Pria apaan."

Ken mengabaikan sindiran ayahnya. "Aku bisa bilang apa,"

"Papa tidak mau tahu.. kau harus mengenalkannya pada papa besok lusa. Tidak ada bantahan," ancam Reynal. "Kalau kau membantah, aku akan memaksamu menikahi Hera. Oh, dan kau tidak bisa mengelaknya."

"Tapi.. Papa? Halo, Papa? Sial!" Ken melempar ponselnya dengan marah ke sofa. Ken tidak tahu lagi bagaimana menangani masalah ini. Jelas dia tidak bisa mengaku pada ayahnya kalau dia berbohong. Dan juga, dia tidak mau menikahi Hera, bagaimana pun perasaannya.

Ken memandang langit-langit dengan gusar. Bagaimana pun sekarang, hanya ada satu cara untuk menyelesaikan ini. Dia harus meminta wanita itu menjadi tunangan gadungannya, bagaimana pun caranya.


***


Sepanjang Amel menulis mengisi laporannya, Amel sama sekali tidak berkonsenterasi. Pikirannya kacau balau. Sidang tesis, proyek tulis-menulisnya dan mengisi laporan nilai muridnya.

Amel menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian mencoba fokus kembali pada laporannya. Baru saja Amel menulis beberapa kata, dia sudah diganggu lagi oleh Bagas.

"Bu Guru," panggil Bagas, sambil sedikit mengguncang bahu Amel. "Ada yang ingin bertemu ibu."

Amel mengerutkan alisnya. "Siapa?"

Bagas menaikkan bahunya. "Dia nunggu di taman bermain. Cepat ke sana, katanya dia tidak bisa lama-lama."

Karena penasaran, Amel segera pergi ke taman bermain. Tumben-tumbennya ada orang yang mendatangi dia di sekolah. Apa ada masalah?

Amel sampai di taman bermain dan tidak melihat siapa-siapa selain dua orang anak TK yang bermain jungkat-jungkit. Apa Bagas membohonginya? Tidak, Bagas memang nakal tapi dia bukan pembohong. Amel mendesah. Mungkin ada yang mengerjainya.

Saat Amel berbalik pergi, dia mendengar sebuah suara yang familier baginya, "Pergi secepat itu, Amel?"

Amel langsung berbalik dan mendelik melihat siapa yang memanggilnya barusan. Astaga, dia tidak salah lihat, kan?

Itu adalah manajer dari Twinkle Night yang membuat sol sepatunya rusak kemarin lalu. "Ken?" ujar Amel spontan, menyipitkan matanya.

Kali ini, Ken tidak memakai jasnya. Dia hanya mengenakan kemeja jeans berlengan pendek, serta celana jeans hitam. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan saat ini dia terlihat... lebih normal, menurut Amel.

Not so Beautiful Game[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang