love, life, line: bitter truth hurts

11.8K 925 88
                                    

Now Playing: Seether-Broken

***

"Hmm, Elang, lo ada acara nggak nanti malem?" tanyaku sambil memeluk punggung Elang dari belakang. Hari ini aku pulang nebeng bareng dia, soalnya Pak Prayitno nggak bisa gitu, nggak tahu deh kenapa. Yaudah deh, jarang-jarang juga pulang bareng Elang.

Elang yang masih mengemudi motornya mengangguk, "Iya, nanti malem mau futsalan diajak Dion. Kenapa emangnya, Fir?"

"Ya enggak apa-apa, padahal gue mau main ke rumah lo, pengen cerita gitu. Aduh, gue kangen sama Dion deh, kapan kita kumpul-kumpul lagi nih?" ujarku.

Hari ini cuaca Jakarta nggak terlalu panas seperti biasanya. Kendaraan tetap ramai, tapi nggak macet.

Aku selalu menyukai Jakarta. Walaupun mereka bilang kota ini panas, dipenuhi polusi, dan nggak kangen-able, tapi kota ini adalah tempat di mana aku akan selalu kembali, kota yang selalu menjadi tujuan aku untuk pulang.
This is the place where i belong. Aku dilahirkan dan besar di sini, merasakan manis pahit kehidupan di kota ini, tumbuh menjadi lebih dewasa karena kerasnya kota ini.

Aku selalu menyukai gedung-gedung tinggi pencakar langitnya, menyukai langit-langit yang beragam warnanya, mencintai hiruk-pikuknya... Yang nggak mungkin aku temukan di tempat selain Jakarta. Jakarta memang nggak sempurna. Terlalu banyak hal yang merusak keindahannya... Tapi, di sini aku selalu menemukan kenyamanan dan cinta. Entahlah, aku nggak ingin pergi jauh dari sini.

"Heeh, Dion bilang kangen sama lo juga, katanya dia mau ngajakin main FIFA lagi. Terakhir katanya lo kebantai ya sama dia?" ujar Elang yang suaranya nggak bisa aku dengar jelas.

"Halah, apaan deh dia ini, orang gue cuma kalah 2-1 dibilang kebantai. Hiperbolis banget dia!" seruku nggak diterima.

Elang terkekeh mendengar perkataanku, "Ya namanya juga Dion."

Aku tersenyum canggung dan aku yakin Elang nggak bisa melihat senyumku.

"Eh, makan dulu yuk! Gua pengen makan pizza nih... Gua traktir deh." ujar Elang yang membuat cacing-cacing di perutku bersorak gembira.

"Mantap, gue mah ayok aja, Lang!" seruku sumringah.

Elang langsung membelokan motornya ke salah satu restoran pizza dekat sini.
Aduh, perutku udah nggak tahan buat makan, udah krucuk-krucuk gini hahaha.

Sekolah hari ini pulang lebih cepat daripada biasanya karena guru-guru sedang workshop. Itu tuh kayak anugerah banget kan buat pelajar seperti kami.

"Lang, gue mau nanya deh sama lo." ujarku membuka topik pembicaraan.

"Kenapa, Fir?" tanya Elang yang sigap menanggapi omonganku.

"Masa ya waktu konser kemaren, Jerry bilang kalo dia sama gue jadi pacar sehari." kataku sambil mengetuk-ngetuk meja nggak jelas.

"Maksudnya?" Elang tampak bingung dengan penjalasanku.

"Ya... Dia ngajak untuk pacaran gitu loh, tapi cuma di konser itu aja. Cuma berlaku malem itu doang. Dia gandeng gue, ngerangkul gue... Ya kayak pacaran gitu. Gue juga kan kecapekan banget tuh, tepar di mobil... Dia ngelus pipi gue juga, dia nyangkanya gue udah tidur kali ya." kataku yang mencoba menceritakan renteran kejadian yang terjadi beberapa hari kemarin.

"Terus masalahnya apa?" tanya Elang.

"Yaelah, aneh aja... Oh iya, dia kayak bilang i love you gitu ke gue, tapi gue nggak yakin sih, soalnya berisik banget. Tapi, kalo gue liat dari gerakan bibirnya kayak ngomong gitu. Sama... Oh iya! Waktu gue tepat di mobil itu, dia bilang kalo dia nggak boleh suka sama gue. Dia takut kalo dia bakalan jatuh cinta sama gue. Kenapa coba? Gue bingung, sumpah. Jerry ini kenapa, sih?"

Love, Life, Line (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang