love, life, line: additional part

15.5K 926 215
                                    



6 bulan sesudah kepergiannya.

Aku mendorong pintu kelas dengan lesu. Aku melirik arlojiku. Lagi-lagi, aku terlambat, untung saja gerbang sekolah belum ditutup, jadinya aku masih bisa masuk.

"Fira, kenapa kamu terlambat lagi?" tanya Bu Halimah menatapku dengan tatapan marah. Aku tidak berani menatap beliau, hanya berani melirik sedikit saja.

"Nggak papa, bu. Fira kesiangan." jawabku jujur. Aku memegangi perutku. Sakit. Aku bahkan lupa untuk sarapan.

"Ke sini kamu.." perintah Bu Halimah. Aku menyadari kalau seisi kelas sedang memandangiku aneh. Aku melangkah lunglai dan lemas menuju meja Bu Halimah.

"Astaga, kamu pucet banget, Fira. Kamu sakit?" tanya Bu Halimah mendadak perhatian denganku. Tangan beliau menyentuh keningku. "Kamu panas, nak. Kamu mau ke UKS?"

Aku menggeleng lalu tersenyum kecil, "Nggak usah, bu. Fira cuma kurang tidur."

Bu Halimah menatapku dengan pandangan nanar, "Kamu mau pulang? Kamu boleh pulang, nak.. Kamu kurus sekali kalau ibu perhatikan sekarang.."

Berat badanku memang menurun drastis. Sejak kepergiannya, aku menjadi kurang nafsu makan. Setelah dia tidak ada, aku menjadi susah tidur. Ah, entahlah mengapa bisa sekacau ini..

"Nggak bu, Fira memang tiap hari kayak gini. Cuma malas makan aja makanya berat badan Fira turun.. Fira nggak sakit, kok. Fira pingin belajar, nggak mau pulang." kataku berusaha meyakinkan Bu Halimah.

"Ya sudah, kamu duduk, ya. Kalau ada apa-apa bilang ke temen-temen yang lain, Fir. Jangan dipendam sendirian." kata Bu Halimah sambil menepuk bahuku lembut. Aku tersenyum lalu mengangguk. "Iya bu, Fira nggak papa, kok."

Aku memang nggak papa. Mungkin kesehatanku sedikit terganggu, tapi aku yakin kalau aku baik-baik saja.

Aku hanya merasa kosong dan mati rasa. Semacam tidak bisa merasakan kesedihan ataupun kebahagiaan lagi. Aku bahkan terlalu sering menggunakan topeng, memasang senyum demi meyakinkan orang-orang kalau aku bahagia.

Aku menaruh tasku dengan lesu. Mataku tidak bisa mengalihkan pandangan dari bangku kosong yang ada di sampingku.

Dulu dia berada di situ, di sampingku.

Aku masih mengingat detail bagaimana ia biasa merapikan rambut jambulnya. Masih terekam jelas di dalam otakku betapa paniknya ia saat kehilangan pena lalu mencoba mengambil milikku.
Suaranya ketika ia mentertawai candaanku saja masih sering terngiang di dalam benakku.
Aku masih mengingat jelas semuanya.

Aku membuka buku catatan matematikaku lalu aku membuka halaman paling belakang.

Hatiku masih merasakan sakit setiap kali melihat tulisannya.

Safira cacat idiot sok hebat.

Woy setan, nanti sore bisa sepedahan nggak?

Elang memang suka menulisi halaman belakang bukuku untuk berkomunikasi kalau guru yang mengajar itu galak.

Aku tersenyum saat mengingat buku catatanku sering hilang karena dipinjam olehnya. Walaupun Elang sangat cerdas, tapi dia malas sekali mencatat.

Love, Life, Line (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang