love, life, line: missing you is not enough to change everything

13K 942 205
                                    

Aku dan Dion menatap gundukan tanah yang penuh dihiasi bunga itu. Gundukan itu masih basah. Tanah itu masih basah.

Sudah seminggu Elang pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Sudah tujuh hari ia meninggalkan kami, meninggalkan aku.

Elang.

Sosoknya datang dan pergi tanpa pernah aku duga.

Dia datang seenaknya dan pergi dengan seenaknya juga. Tanpa memberi peringatan dan tanda-tanda.

Lang, kamu apa kabar di sana? Kamu baik, kan? Aku kangen kamu.. Aku mau meluk kamu..

Dion tersenyum muram dan gusar ke arahku, ia menatap langit, raut mukanya sedih, seperti menahan sakit yang mungkin saja menyayat dadanya.

Aku tidak bisa merasakan sedih lagi. Sudah terlalu sering, air mata ini sudah kering. Hati ini sudah patah berulang kali.

"Gua masih inget waktu pertama kali kita kenal, Fir." kata Dion sambil memandangi makam Elang.

Makam tersebut terlihat nyaman. Kuharap Elang juga merasa nyaman berbaring selamanya di sana.

"Gua waktu itu duduk sama Elang di tempat les, lo duduk di depan kita. Kita gangguin lo terus kayak nimpuk kertas lah, nimpuk pena lah, sampe lo marah sama kita.. Lucu ya, itu udah berapa tahun yang lalu? Kok waktu berjalan secepat itu?"

Aku tersenyum singkat lalu memandangi makam Elang.
Kita sudah terlalu lama berbagi pengalaman, Lang.. Herannya, aku nggak pernah melupakan detail kecil cerita kita.

Aku masih ingat gimana penampilan kamu ketika kita pertama kali bertemu.

Waktu itu, kamu memakai baju merah marun dan celana biru khas anak SMP. Kamu kelihatan capek, kamu langsung memilih bangku belakang untuk duduk. Tepat di belakang aku. Aku masih ingat betapa ribut dan rusuhnya kamu di hari pertama les. Kamu selalu gangguin aku, padahal kita belum mengenal.

"Lo tau nggak apa yang Elang bilang pertama kali liat lo?" tanya Dion menatapku lekat-lekat.

Aku nggak pernah tahu apa first impression-mu terhadapku. Burukkah? Baguskah? Atau bagaimana? Aku ingin mendengarkan hal itu dari mulutmu sendiri, Lang.

Aku nggak pernah menyangka kalau kamu--si tukang ribut dan ricuh itu bakal menjadi salah satu orang terpenting di hidupku.

Hidup itu memang aneh, ya? Kita nggak bisa menebak kemana hidup akan berjalan. Aku nggak bisa menebak cerita kita berdua.. Ternyata akhirnya seperti ini.

Aku nggak pernah menyangka kalau rambut jambulmu itu bakal menjadi rambut kesukaanku. Aku nggak pernah menyangka kalau kamu si tukang ricuh bakal menjadi orang paling cerdas yang pernah bertemu denganku. Aku nggak pernah mengira kalau senyum kamu adalah senyum favoritku.
Aku nggak pernah menebak kalau aku bakal jatuh cinta sama cowok akuntansi yang doyan astronomi seperti kamu.

Takdir Tuhan yang membawaku untuk jatuh ke kamu, Lang. Aku mencintai orang yang tepat di waktu yang tepat. Hanya takdir dan jalan cerita kita yang salah, Lang.

"Dia bilang ke gua gini, "Eh, siapa cewek depan gua? Kok alisnya tebel sih?" Hahaha, dasar Elang aneh, masa dia merhatiin alis lo dulu, Fir!" kata Dion memaksakan tawa, tawanya tercekat.

Dion terdiam sejenak, "Terus gua jawab deh, "Safira. Kenapa? Lo pengen kenalan?" Terus Elang ketawa nggak jelas gitu.
Gua udah kenal setahun sama dia, gua tau kalo dia tertarik sama lo. Dia notice hal kecil yang sama sekali nggak gua kira.. Haha, dia lucu ya?" kata Dion berusaha untuk tertawa. Tawanya terdengar sumbang. Suaranya kering. Dion juga memendam rasa kehilangan, ia juga merasakan luka.

Love, Life, Line (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang