"Uh, nggak bermaksud.." ujar Elang ragu lalu membenamkan wajahnya ke dua telapak tangannya.
Aku hanya terdiam lalu hanya memandangi langit-langit.
Langit hari ini sedang cerah-cerahnya. Langit hitam yang kelam ini tak semenyeramkan biasanya, hari ini ditaburi bintang-bintang. Ratusan bintang tersebut mengerti betapa senangnya aku. Betapa mengejutkan kejadian ini.
Aku tidak pernah meminta Elang untuk mengatakan cinta kepadaku lagi, aku hanya ingin dia kembali. Namun, ternyata Tuhan masih berbaik hati, ia masih mengizinkan aku dan Elang untuk mengulang segalanya lagi.
"Hmm, Fir?" gumam Elang ragu namun matanya terlihat berani. Napasku tercekat, perasaan bahagia berlebihan itu masih menyelubungi jantungku.
"Ya?" jawabku yang tak bisa banyak berkata-kata. Setelah kecupan singkat tadi, kecanggungan membatasi kami.
"Tadi kamu mau ngomong apa?" tanya Elang yang kini terdengar lebih manis. Ia jarang sekali menggunakan kata 'kamu', aku tahu itu.
"Aku.. Mau bilang.." ucapku dengan jeda beberapa detik, ketakutan dan keraguan masih menyergapku, "terimakasih."
Aku hendak berbicara kata cinta, namun lidahku masih kelu; belum terbiasa.
"Untuk?" tanya Elang yang membuatku menyunggingkan seulas senyum kecil. Ia membalasnya.
"Selalu ada untuk aku." jawabku singkat.
Elang mengangguk lalu ia mengalihkan pandangannya ke depan.
"Saya pernah baca, seseorang yang tepat di waktu yang salah akan selalu bertemu lagi, Fir." ujar Elang yang membuatku mengerutkan dahi.
Semilir angin malam membuat tubuhku merinding sedikit. Dingin ternyata. Entah mengapa, aku merasa tidak nyaman.
"Gimana maksudnya, Lang?" tanyaku.
"Kita memang beberapa waktu lalu sempat berpisah, kan? Tapi, nyatanya kita bertemu lagi. Di sini. Belum lama memang, tapi saya percaya kalau kamu itu orang yang tepat untuk saya." ujar Elang yang masih membuatku bertanya-tanya.
"Dulu, waktu TK dan SMP, kita selalu bertemu tapi kita selalu 'gagal'. Tapi, Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan kita, Fir. Iya, kan? Kita pernah beberapa kali bertemu, tapi ternyata waktunya salah. Dan mungkin, mungkin ini adalah waktu yang tepat. Saya yakin kamu orangnya. Ibarat komet dan matahari, kamu matahari dan saya kometnya. Semesta selalu memandu saya untuk bertemu kamu. Gravitasimu menarik saya untuk mendekat. Namun, pada akhirnya, komet akan menjauh dengan matahari walaupun sempat dekat jaraknya. Saya sempat berpikir kalau kita gak akan bertemu lagi. Alam semesta berencana hal lain, ternyata. Rasi bintang dan susunan planet akan berubah seiring jalannya waktu dan membuat gravitasi kamu--matahari--semakin kuat mendorong saya--komet--kembali mendekat. Gravitasimu lebih kuat daripada dulu saat pertama saya bertemu dengan kamu. Dan saya yakin kalau sekarang ini adalah waktu saya untuk tinggal setelah berpetualang dan pergi jauh tanpa kamu. Saya dulu pernah berpikir gak akan bertemu sama kamu lagi. Tapi, setelah beberapa kali kejadian di antara kita, saya percaya kalau kamu orang yang tepat dan dulu kita memiliki waktu yang salah. Dan saya berharap kamu pun yakin kalau saya memang untuk kamu."
"Saya minta maaf kalau saya dulu pernah kurang ajar, tapi, saya mencintai kamu dan itu beneran." lanjut Elang yang mendadak menggunakan bahasa sedikit tinggi hingga aku harus berpikir dua kali untuk memahami.
"Tapi, bagaimana kalau aku bukan orang yang tepat, Lang?" tanyaku ragu. Elang melirikku lalu merangkul pundakku. Aku tercengang pada awalnya, namun lama kelamaan, rangkulannya membuatku merasa aman.
"Kalau kamu bukan orang yang tepat, kita nggak akan mungkin memiliki kesempatan lagi dan lagi." jawab Elang sambil tersenyum simpul.
"Saya nggak pernah percaya kalau cinta pertama itu akan bertahan lama, tapi sampai lebih dari satu windu, kamu masih ngeraguin?" tanya Elang yang membuatku menggeleng cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Life, Line (Completed)
Fiksi Remaja--FIKSI REMAJA-- COMPLETED. Safira adalah siswi SMA yang bersahabat dengan empat cowok yakni: Elang, Dion, Jerry, dan Ian. Mereka bersahabat sejak kelas 8 SMP. Elang si penggemar astronomi yang pintar, Dion si cowok paling annoying...