love, life, line: lucky me, i have them as my best friends

12.8K 978 70
                                    

Now Playing: Bruno Mars-Count On Me

***

"Maafin ya Lang, sumpah gue nggak bermaksud gitu..." ujarku kepada Elang yang duduk santai di sampingku.

Elang tersenyum lebar dan cerah. Tidak ada lagi Elang yang murung, dingin dan kaku seperti robot.

"Selo aja, kemaren gua lagi pusing itu." jawab Elang sambil menepuk pundakku pelan. "Gua yang minta maaf sama lo ya karena udah kasar banget. Nggak seharusnya gua kayak gitu."

Elang tersenyum kemudian mengelus rambutku pelan. Aku hanya bisa menunduk dan memukul-mukul pena biru ke bukuku.

"Fir lo tau nggak sih kalo temenan itu harus kayak magnet?" kata Elang yang membuatku kaget.

"Hah? Maksudnya?" tanyaku refleks. Aku nggak maksud.

"Lo sama gua itu ibarat dua magnet. Gua yang dingin ini didominasi kutub utara dan lo yang cerewet itu didominasi kutub selatan," kata Elang sambil menatap jendela kelas. "Lo tau kan kalo magnet itu cuma bisa tarik-menarik kalo kutubnya berbeda? Kita ini beda banget, Fir. Dari segala aspek kita beda." Elang kemudian menatapku, aku hanya bisa terdiam menunggu penjelasannya. "Tapi, perbedaan itu yang bisa membuat kita sedeket ini. Lo menarik gua, gua menarik lo. Kita menarik kayak magnet tadi," kata Elang tersenyum kecil. "Dalam persahabatan, gua selalu nerapin konsep magnet ini. Kita saling tarik-menarik, saling membutuhkan, tapi nggak mengekang. Magnet nggak harus selalu nempel setiap saat, kan? Begitu juga dengan kita, Fir. Walau sedeket apapun, kita harus punya waktu sendiri. Nggak setiap saat harus bareng. Get my point?" Elang bertanya padaku dengan serius. Aku mengangguk.

Aku suka filosofi Elang. Dia benar, aku nggak seharusnya mengekang dia. Kami memang saling membutuhkan, tapi, bukan berarti setiap saat kami harus bersama, kan?

Memiliki Elang sebagai sahabat sama saja memiliki seorang figur kakak. Kakak yang selalu menyanyangi adiknya, selalu menasehati ketika adiknya berbuat salah, selalu mendengar keluhan adiknya... Dia kakak yang sempurna bagiku.

Aku nggak bisa membayangkan kalau aku harus kehilangan sosoknya. Jangan sampai, Ya Tuhan.

"Ya, gue paham Lang. Lo memang lagi sibuk banget, ya? Besok kan lo lombanya?" tanyaku.

Elang mengangguk, "Yep, besok gua lombanya. Berhubung besok, gua pengen main sama kalian malem ini. Mau ngilangin penat. Capek gua belajar intensif dua minggu ini."

Mataku melebar seketika, "Serius nanti malem mau main?"

Elang mengangguk, "Yap, kapan lagi coba?"

Aku tersenyum mendengar jawaban Elang. Sumpah, aku kangen banget sama dia!

"Eh, gua laper nih, mumpung nggak ada guru kantin aja, yuk?" kata Elang yang langsung berdiri dari bangkunya.

Aku mengangguk dan berdiri mengikuti Elang.

Elang berjalan santai beriringan bersamaku menuju kantin.

Koridor sekolahku tampak sepi, maklum hanya kelas kami yang kebagian jam kosong.

Terdapat beberapa anak yang bermain bola bersimbah keringat di tengah lapangan yang tidak jauh dari kantin.

Segerombolan cewek lewat melintasi kami. Mata mereka sinis, seperti tidak suka denganku.

Padahal, aku nggak pernah mempunyai masalah dengan Nabila dan rombongannya itu, mengapa mereka melihatku seakan-akan aku sampah?

Aku mempercepat langkahku, menjauh dari Elang. Elang yang tampak bingung mengejarku. Kami jalan beriringan lagi.

Love, Life, Line (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang