love, life, line: can we start it all over again, please?

10.7K 877 101
                                    

Now Playing: Mayday Parade-I Swear This Time I Mean It

***

"Lang, tungguin gue, gue mau ngomong." ujarku sambil mengejar Elang dari pintu gerbang sekolah.

Elang menatapku dengan bingung, "Kenapa Fir? Gua ada janji sama Citra."

Aku menggeleng, "Bohong. Nggak usah ngehindarin gue lagi, gue mohon." ujarku dengan nada memelas dan setengah mengemis. Terserah, aku sudah membuang jauh-jauh gengsiku, aku hanya ingin memulai segalanya dari awal.

"Ngehindar apaan sih? Lo tuh jadi orang jangan terlalu bawa perasaan kenapa? Gua nih biasa aja, kenapa gini banget sih?" seru Elang yang membuat kami menjadi pusat perhatian. Menyadari hal itu, Elang langsung menarik tanganku dan mengajakku pergi menjauh.

"Sekarang lo mau apa?" tanya Elang ketus dan dingin. Seperti monster jahat yang hendak memangsa musuhnya. Aku memandangnya dengan tatapan memelas dan penuh harap, semoga ia menyadari apa yang aku rasa. Semoga dinding tebal di hatinya akan luluh.

"Gue.. Nggak mau apa-apa. Bisa nggak kita berteman lagi?" ujarku dengan suara kering, berusaha setengah mati untuk tak melelehkan air mata yang siap untuk jatuh dari muaranya.

Elang bergeming. Ia hanya menatapku dengan tatapan yang tidak pernah bisa aku terjemahkan.

"Kita memang temenan, kan? Terus masalahnya apa?" tukas Elang dengan nada sedikit ragu. Aku bisa merasakan keraguan yang menyeruak di suaranya. Aku tahu.

"Iya memang, tapi teman nggak kayak gini kan? Kenapa sih kita harus menjauh?" tanyaku sambil meremas-remas jemari dengan cemas.

Aku kembali menatap matanya. Sepasang bola mata yang dingin, tak hangat seperti dulu. Aku bisa mendengar deru napas kencangnya dan buliran keringat yang perlahan menetes membasahi kerah seragam putihnya. Dia yang berdiri di hadapanku ini adalah figur penting bagi hidupku. Ia adalah sosok yang akan selalu kukagumi dan cintai. Mengapa seperti ini?

Jika diperbolehkan, aku akan mendekap dan mengatakan padanya kalau aku begitu merindukannya. Merindukan segala aspek yang ada di dalam dirinya; entah itu cerita Yunaninya, selera humor payahnya, kecerdasannya, ah, benar-benar segalanya. Sampai-sampai aku tidak tahu bagian apa yang paling aku rindukan dirinya.

"Gua nggak tau Fir, segalanya rumit ketika perasaan yang berbicara. Lo tahu kan kalau gua butuh waktu untuk memulihkan segalanya? Mungkin terdengar berlebihan, tapi ya begini keadaannya.." jawab Elang melembek. Mataku panas. Mengapa jawabannya mengindikasikan kalau ia ingin mengubur perasaannya untukku?

"Nggak, Lang. Nggak gini caranya.. Lo tau kan kalau gue nggak betah diem-dieman sama lo. Lo tau nggak sih, gue tuh kayak orang gila ditinggal sama lo. Gue bener-bener apa ya.. Ah, ya gitu deh, lo tega giniin gue? Kenapa harus ada cinta kalau akhirnya kayak gini?" ujarku lemah, kemudian aku duduk di bebatuan yang tak jauh dari tempat kami. Elang pun mengikutiku--duduk di sampingku.

"Ya, gimana ya.. Gua juga harus prioritasin diri gua sendiri, Fir. Lo nggak pernah tahu di posisi gua gimana, yah.. Gitu dah, gua nggak mau drama di depan lo, yang jelas gitu." ungkap Elang seraya melempari bebatuan kecil dengan kuat.

Angin berhembus dengan kencang. Aku merasakan hembusan angin menerpa rambut panjangku dan memberikan perasaan merinding dan geli yang menyenangkan. Berhubung sekolah kami memang dekat dengan lapangan, Elang sengaja mengajakku kemari untuk berbicara empat mata, agar tak menjadi pusat perhatian.

"Ya, gue tau kok, Lang." jawabku pelan. Aku menyadari kalau Elang menatapku lekat-lekat, membuat jantungku berdebar tidak karuan. Hormon adrenalin di tubuh ini terpacu membuat jantungku bekerja tidak normal; lebih cepat daripada biasanya. Aku merasakan hembusan napasku lebih hangat.. Aku nyaman berada di dekatnya.

Love, Life, Line (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang