love, life, line: why can't i be happy for a long time?

10.9K 875 42
                                    

Aku berlari menyusuri lorong yang hanya diterangi cahaya remang-remang. Hanya ketakutan dan perasaan cemas yang aku rasa. Orang-orang yang sedang duduk di sepanjang lorong menatapku aneh, mungkin karena aku terlihat terlalu tergesa-gesa dan bajuku dipenuhi keringat.

Kakiku semakin berat ketika aku harus menuju tempat yang Dion katakan tadi. Sialan, mengapa aku lambat sekali?

Akhirnya, aku menemukan mereka--Dion, Jerry, Ian, dan keluarga Elang di ujung sana. Raut mereka tampak semrawut dan khawatir. Aku langsung berlari ke arah mereka. Jantungku berdebar lebih keras, aku merasakan ketakutan luar biasa hebat yang mencekam dada.

Tante Dewi--mama Elang-- menangis sesunggukan dan Om Ardi--ayah Elang-- hanya bisa menenangkan istrinya tersebut. Aku memandangi raut teman-teman yang kusut dan takut. Aku tidak mengerti, mengapa malam ini seaneh ini?

"Elang.. Elang gimana..?" tanyaku dengan suara gemetar. Tak ada satupun yang meresponku. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Fir, sini sebentar." ujar Dion menyeretku menjauh dari ruang tunggu. Aku ditarik kuat-kuat olehnya hingga tanganku sedikit merah dan sakit. Dion menatapku dengan pandangan iba.

"Elang kenapa?! Kenapa tiba-tiba dia di sini?!" tanyaku dengan histeris lalu menangis. Aku merasakan dadaku dipenuhi rasa cemas. Aku takut mendengar jawaban dari mulut Dion. Aku takut kehilangan Elang sekali lagi..

"Elang.. Kena musibah waktu pulang dari rumah lo.." jawab Dion dengan raut lesu.

Mataku langsung berkaca-kaca, refleks aku mencengkram bahu Dion dan memaksanya untuk menjelaskannya kepadaku. "Cepetan jelasin gue!"

"Elang dirampok waktu pulang, dia lewat jalan agak sepi gitu memang, tadi warga nemuin dia udah terkapar di pinggir jalan. Sumpah gua nggak bohong ataupun apa. Mobil Elang diancurin kacanya, dia diberhentiin dan nggak mau turun awalnya. Dia ngelawan dan kalah. Semuanya diambil, untung dia nggak bawa HP. Perampok itu nusuk perut Elang.. Itu tadi kata saksi yang ngeliat, dia nggak berani nolongin Elang juga Fir.. Tadi kata dokter keadaannya udah parah banget, sih.. Elang digebukin juga dan tadi dia nggak sadar.." ujar Dion sambil memelukku, "Sabar, sabar.. Jangan nangis.."

Aku menangis sesunggukan di bahu Dion, "Lo nggak bercanda kan? Elang nggak akan pergi kan?" tanyaku memelas dengan suaraku yang benar-benar serak. Air mata terus bercucuran dari mataku, tanpa bisa kuhentikan.

Rasa sakit yang luar biasa menjalar di tubuhku, aku merasakan tubuhku gemetar hebat. Pelukan dari Dion tak mampu mengurangi rasa takutku. Aku takut Elang pergi, Ya Tuhan..

"Aku nggak tau, Fir.." jawab Dion memelukku semakin erat. Aku tahu ia juga merasakan hal yang sama denganku; takut kehilangan Elang. Aku merasakan tubuhnya dingin, memangnya Elang separah apa?

"Elang juga dipukulin sama perampoknya, Fir. Gua takutnya kalau dia gegar otak atau apa.. Kalau sampai lupa sama kita, atau yang lebih parah.." ujar Dion yang enggan memperjelas ucapannya. Aku menangis sesunggukan.
Dion merangkulku pelan, "Ayok ke sana, nggak enak kalo ngobrol berdua aja."

Sambil melangkah gontai, Dion membimbingku berjalan menuju keluarga Elang, Jerry, dan Ian yang cemas menunggu Elang.

"Tante.. Sabar.." ungkapku sambil memeluk Tante Dewi yang benar-benar terlihat cemas dan shock.

Suster pun keluar dari ruangan tempat Elang ditangani.

"Gimana sus? Keadaannya masih sama kayak tadi?" tanya Jerry yang terlihat cemas. Kami pun memandangi suster tersebut dengan tatapan penasaran dan juga takut.

"Kami sudah melakukan segalanya, semoga Saudara Elang cepat membaik, ya." tukas perawat cantik tersebut seraya tersenyum simpul.

"Kita boleh masuk, sus?" tanya Ian yang disambut anggukan suster tersebut.

Love, Life, Line (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang