7. Pain (Diandra)

7K 277 4
                                    

Umay Shahab as Fernanda. Gue milih Umay karena ganteng#plak(ceritanya kan fernand ganteng), dan face nya agak mirip Adinda biar klop jadi kakak adek#mirip ga sih? Wakakakaka

#####

Hembusan angin menerpa pipiku yang masih panas terkena telapak tangan Papa.
Disinilah aku, diatas bidang miring rumah tingkat dua, dan hanya ditemani kepulan asap nikotin serta suara petikan jemariku pada sebuah gitar.

Berandalan. Ya, beberapa orang menyebut diriku begitu. Karena memang sengaja seperti itu. Berawal dari ide konyol yang membuatku terjebak dan tak mampu berhenti. Tepatnya, tak mau berhenti. Sebelum kucapai tujuanku.

-Flashback on

Aku menatap sinis mobil papa yang terparkir di garasi. Masih ingat pulang ternyata mereka.

Kulangkahkan kaki kedalam rumah dan mendorong pintu hingga berderit.

"Dari mana saja kamu?"
Tanya pria paruh baya itu bahkan tanpa berpaling dari komputer.

"Cari angin, gerah dirumah." jawabku tak acuh.

"Sampai jam sepuluh?! Jadi setiap hari kamu begini?! Seperti tidak punya tujuan hidup saja, kamu ini perempuan! Setelah rokok apa lagi? Kamu bau alkohol. Berani minum kamu ya?!" omelnya panjang lebar.

Aku tersenyum miring. "Apa peduli Papa? Nggak ada makhluk hidup selain Bibi disini, jadi untuk apa saya pulang? Papa nggak berhak ngelarang saya, karena Papa nggak pernah ada disini!" Ucapku dengan emosi meletup-letup.

Pria itu menggebrak meja. "Kamu sudah berani melawan orang tua?! Kami kerja mati-matian demi kalian! Agar kalian tidak kekurangan apapun."
Uang, uang, dan uang. Mengapa sebuah kebahagiaan hanya diukur dari segi materi?

Pintu kamar Fernanda terbuka, orang didalamnya menyembulkan kepalanya keluar disusul oleh tubuhnya. Sementara itu, dengan ekor mata kulihat Bi Sari mengintip dari dapur dengan gemetaran, wanita paruh baya itu pastinya muak dengan pertengkaran yang menjadi camilan sehari-hari di tempatnya bekerja.

"Orang tua? Kalian bukan orang tua saya. Bibi orang tua saya."

Plak!
Panas dan gatal langsung menyergapi pipiku.

Dalam satu hentakan aku berbalik dan mengambil kunci motor diatas nakas dan kembali meninggalkan rumah. Tidak ada niat melanjutkan perdebatan. Karena secara fakta aku menang, tetap saja yang lebih tua selalu benar.

Andai saja mereka tau alasanku berkelakuan begini.

Ah, sudahlah.

Flashback off-

Terlihat tiga orang sedang berjalan di depan rumahku, dan mereka menuju...kesini? Ya, mereka kesini.

"Na, lo ngapain diatas?" Ternyata masih ada saja yang mengganggu, atap ternyata tidak cukup aman untuk menghindari orang lain ataupun berhenti menjadi makhluk sosial--untuk sementara.

Aku merebahkan tubuh dengan gitar menimpa tubuhku.

"Mandi," jawabku sarksas.

Dan dengan gaya bloonnya mereka ber 'oh' , membuatku memutar mata.
Kulirik arloji yang masih kupakai. Jam delapan.
"Ngapain kesini malem-malem?"

'Malem-malem', sekedar basa-basi. Biasanya hariku baru dimulai. Yeah, jika saja tak ada orang tuaku. Aku tentu tak ingin jauh-jauh dari mereka karena aku tak tau sampai kapan mereka dirumah.

"Kita mau ketemu elo, kata Kak Fernand 'Diandra kumat waktu bokap dateng'." Rama menirukan suara dan gaya bicara kakakku yang singkat-padat-tapi tidak jelas, namun itu malah membuat suara Rama seperti tikus kejepit.
"Gue ngerti, kalo kak Fe yang ngomong sama lo, ntar malah bentrok lagi.
Emang ada apa lagi, sih?"

Bad vs BestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang