28 . Unpredictable (Author Pov)

4.3K 198 0
                                    

"Lo Diandra, kan?" Dika setengah menahan tawa, "kenapa bisa disini?"

'Oh Damn! Harusnya gue yang nanya itu.'

Diandra memilih tak menjawab dan melanjutkan kegiatan awalnya--merapikan kertas. Saat ini kertas itu memang benar-benar bercampur yang berdampak langsung pada waktunya berhadapan dengan Dika.

Sebenarnya itu bukan persoalan utamanya. Masalahnya Diandra harus menahan semua badai yang memporak-porandakan hatinya. Belum lagi suara yang akan bergetar dan patut dipertanyakan.

Orang yang ditunggunya selama dua tahun kini berada dihadapannya! Disaat yang sama sekali tak terduga.

"Kalau ditanya jawab! Lo emang gak berubah dari dulu. Masih inget gue gak?"

Khas Dika sekali.
Kabar buruknya Diandra tambah ingin menangis karena  mulai meyakini makhluk dihadapanya bukan sekedar hayalan.

"I-iya, ini Diandra," jawabnya pada akhirnya.

"Lo keliatan agak beda. Kok suara lo gitu? Abis nangis?" Alisnya berkerut-kerut.

Entah ekspresi khas apalagi yang akan cowok itu tampilkan agar membuat Diandra semakin terpana.

Diandra bingung menjawab apa.
"A-a..hehe."

'Bangke!' batin Diandra.

"Kayaknya gak bakal bisa dikumpulin satu-satu. Nanti gue cerita kejadiannya sama Buk Kepsek. Biar kita gak kena damprat."

#####

Diandra menutup wajahnya setelah sampai di kamar tamu. Cepat-cepat ia menuju kamar mandi lalu membasuh wajah dan membasahi sedikit rambutnya dengan harapan kepalanya takkan pecah.

Ingin rasanya ia menjerit sekencang-kencangnya meluapkan semua kebahagiaan yang mendesak untuk dikeluarkan.

Fernanda dan Bella yang tadinya menonton sambil duduk di sofa, kini saling berpandangan melihat Diandra yang baru datang, langsung menghilang dibalik pintu toilet.

"Kalian berdua utang penjelasan sama gue," ia berujar cepat hingga napasnya ngos-ngosan ketika baru keluar dari toilet.

Sepasang kekasih itu kembali berpandangan lalu mengernyit.

"Kak Dika ada disini!" ujar gadis itu lirih.

"Ha?" Fernanda belum connect.

"Hah?!" ujar Bella.

"HAH?!" Rizky yang baru turun dari tangga ikut-ikutan, disertai gerakan mejatuhkan chiki dengan dramatis.

Diandra mendengus dan memasang wajah datar.

"Lo nggak ngayal, kan?!"
Bella tampak belum percaya.

Diandra menjambak rambut frustasi. "Kalau gue ngayal, berarti Kepsek juga ngayal."

"Gue sumpah gak tau apa-apa!" Bella mengangkat tangannya, "kita harus panggil dia kesini."

Seketika Diandra menatap horor. "Jangan dong! Jangan!"

Bukan apa-apa, ia hanya takut kelihatan salting dihadapan Dika, makanya tak bisa sering-sering didekatnya.

"Kenapa jangan?"
Fernanda seperti mehanan tawanya.

"Apa cuma gue yang belum tahu ada yang naksir Dika disini?" Rizky menatap Diandra lamat-lamat, dan saat itu juga jantungnya serasa mencelos. Rizky terlalu pintar.

Kini giliran Diandra, Bella, dan Fernanda yang saling berpandangan.

"Eh, gue mau ngomong sama Dika dulu. Kalian disini aja!" Bella langsung melipir kabur meninggalkan Diandra yang uring-uringan.

"Tuh, kan! Si Bella asal udah ditanya pasti kabur. Kebiasaan!"

"Ra, lo--"

Belum sempat Rizky melanjutkan pertanyaannya, Diandra tiba-tiba merintih. "Aduuh, aw, perut gue sakit." Gadis itu meninggalkan ruang tamu dengan tergesa.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah, Rizky yang menatap sengit Fernanda. "Lo! Jangan kabur!"

Alih-alih ikut mencari alasan, Fernanda menyunggingkan senyum miring. "Ini cerita udah tiga tahun lalu."

Rizky mendengarkan dengan antusias.

#####

"Jadi lo lanjut kuliah disini?" Bella mengajukan pertanyaan setelah ber-telletubies ria bersama sahabatnya.

Dika mengangkat kedua bahunya. "Yah. Mama sakit dan enggak mau disuruh berhenti kerja disini, katanya beliau malah terhibur kalau disini. Sedangkan jarak rumah dan asrama makan waktu paling cepet satu jam. Jadi gue harus jagain Mama disini."

Bella tersenyum simpul.

"Selain itu pengobatan Mama juga gak memungkinkan buat gue tetep sekolah disana."

"Tapi kenapa gak ngasih tau kita dulu?"

"Biar greget," sahutnya asal.

"Ekhm, ehm." Bella berpura-pura batuk, "lagian, ekhm, kasian doi nunggu lo kelamaan."

Saat itu juga Dika menahan senyum sambil menggaruk tengkuknya, membuat Bella terpingkal.

"Jadi gimana?" Bella menaik-turunkan alisnya, "Lo udah yakin sama perasaan lo?"

"Erh. Lo tanggung jawab atas semua yang dia alamin sampai akhirnya jadi kaya gitu." Dika menyandarkan tubuhnya pada batas pinggiran balkon.

"Apa? Malah bagus, dong." Bella tersenyum bangga.

"Gue kurang suka. Eh, ralat, gue suka. Tapi terlalu banyak yang dia korbanin buat jadi kaya gitu."

"Uuh, perhatian banget...ucucucu Dikaaa..." Bella mengerling jenaka pada sahabatnya, disusul tawa membahana.

Dika menoyor kepala sahabatnya. "Paan coba!"

"Jiaaah, Dika salting! Dika salting." Bella berjingkrak-jingkrak. "Salting! Salting!"

"Bel!" Dika memijat kepalanya jengah.

"Kapan lagi bisa godain lo? Seumur-umur gue gak pernah liat cowok kaya elo salah tingkah! Apalagi sampe blushing gitu!"

Sontak Dika memegang pipinya. Hangat. "Ngaco!"

"Yih, enggak percaya." Gadis berambut cokelat itu memaletkan lidahnya. "Jadi udah yakin belum?"

"Ya ya." Dika memutar bola matanya. "Rizky udah tau?"

"Yee elo sendiri yang nyuruh jangan bilangin dia, ntar heboh."

Dika mengangguk-angguk. "Cepet atau lambat juga bakal tahu."

"Tapi...," Bella mengulum senyumnya, "kayaknya bentar lagi dia bakal tahu doi suka sama elo."

"Makin banyak yang tahu makin bagus. Biar tuh  anak gak bisa ngelak."

"Jadi gimana rencana lo?"

Dika melempar pandangan ke arah langit. "Kalian harus bantuin gue...."

Bella tersenyum simpul. "Pasti."

Bad vs BestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang