20. Remember

4.6K 199 0
                                    

Sore itu, Fernanda mencoba membawa adiknya jalan-jalan menggunakan mobil.

Sejak Dika berani datang ke rumahnya. Gadis itu kembali mendapat kepercayaan dari orangtuanya. Dengan ancaman, 'Bila melanggar kepercayaan lagi seperti balapan atau minum dan semacamnya, dia akan dikirim ke asrama dengan penjagaan paling ketat.'

Ketika turun dari mobil dan mendapati dirinya telah berada di taman kota, Diandra tertegun. Ada sesuatu yang familier disini.

"Lo inget? tujuh tahun lalu, lo pernah kecelakaan tepat disana...," Fernanda menunjuk jalanan yang berhadapan dengan air mancur.

Diandra diam, mencoba mengingat.

"Kita sering main kesini, dan duduk disana. Tanpa ijin sama Oma-Opa." Kini Fernanda menunjuk air mancur sambil tertawa.

Diandra masih diam.

"Waktu kejadian, lo minta diajarin main sepeda."

Ya! Diandra ingat!

Flashback :
"Pegangin ya, Kak Fe!"
Diandra berusaha menyeimbangkan sepedanya di jalan raya.

"Tapi inget ya, nanti jangan keceplosan bilangin Oma!"

Diandra mengangguk girang.

Teriknya sengatan matahari rupanya membuat gadis kecil itu kehausan.

"Kak, es krim," pintanya.

Fernanda bimbang.
"Umh, kalo gitu kakak beli dulu ya, kamu jangan kemana-mana! Tunggu kakak dateng."

Fernanda pun bergegas menuju penjual es krim di tengah taman.

"Mas, vanila satu stroberi satu."

BRAAK!

"ANA!"

~~~

"Ya, dan sejak saat itu lo jadi irit ngomong," sahut Diandra.

"Dan semenjak itu lo jadi preman."

"Ra, kalo gue cerita, jangan marah!" Fernanda menatap adiknya lekat-lekat.

Untuk alasan tang kurang jelas, perasaan Diandra tak enak.
"Tergantung," jawabnya pada akhirnya.

Fernanda menatap adiknya ragu. "Hmm, gue mau sekolah di asrama,"

Usai menembakkan gas air mata, Fernanda cepat-cepat menambahi. "Nggak jauh. Lumayan deket dari sini. Itu sekolah, ibunya Dika yang jadi Kepala Sekolahnya."

Tamparan tak kasat mata seakan mendarat di pipi Diandra berkali-kali. Sakit.
"Nggak jauh?! Sinting lo ya? Dika pergi, elo pergi, Kak Bella-- eh, Kak Bella sekolah dimana?"

Fernanda yang sebenarnya hanya menyimak pertanyaan terakhir langsung kikuk. "Umh, KEBETULAN dia rencana disana dari dulu."

"Oh, jadi lo lebih milih dia?" Ucap Diandra sarkas, intonasinya menurun. "Fine! Pergi aja sana! Jadi ini alasannya lo sok peduli sama gue?" Diandra menyilangkan tangan.

Fernanda memijat pangkal hidung. Frustasi. "Ampun loh, Na! Gue nggak terbang ke Australi! Nggak jaoh-jaoh banget!"

"Serah!"

Diandra berlari meninggalkan kakaknya. Fernanda tidak mengejar, selain karena lelah dan lapar, dia juga ingin memberikan waktu untuk Diandra.

Diandra akhirnya tiduran di bawah pohon mangga yang lebat, tetapi tak terlalu tinggi.

Bintang sedang bertaburan karena cuaca sedang terang-terangnya.

Dunia mentertawakan nasibnya.
Seakan belum cukup mengambil orang yang paling disayanginya saat ini, takdir mengambil kakaknya yang menyebalkan tetapi selalu ada--dan sekarang tak kan ada--

"Di? Diandra? Itu elo?" Suara itu, tentu ia sangat mengenalnya. Namun, lupa siapa pemiliknya.

Dan ketika makhluk itu menampakkan wajahnya, Diandra terkejut bukan kepalang.

"Elo?! K-kok bisa?!"

"Harusnya gue yang nanya, ngapain cewek di sini malem-malem?--Ah! Gue baru inget elo anak gengmot."
Ujar Gilang nggak penting.

"Lo ngapain disini?"

Gilang kembali mengeluarkan cengiran yang membuat Diandra dan cewek-cewek lainnya berdesir. "Geng gue tadi mangkal disini."

Mereka diam beberapa saat setelah obrolan garing itu.

Dalam jarak sedekat ini, Diandra baru sadar, Gilang memiliki aroma khas. Bukan parfum, aroma tubuhnya yang seperti madu. Dan Diandra suka madu.

Pipi Diandra jadi memerah sendiri karenanya. Aneh.

"Gil..." panggilnya.

Gilang malah berseru heboh dan bertepuk tangan, "Lo manggil gue pake nama?! Keren."

"Ck, males serius sama elo. Gue mau tanya-tanya, nih."

"Tanya aja,"

"Nyet, lo kenapa pindah sekolah? Kenapa bisa ikut geng motor, dan jadi ketuanya?"

Gilang menatap wajah Diandra lekat-lekat dari samping seraya menatap sengit.

"Monyet is better than Gilang, ngepas aja gitu di lidah gue." Diandra berujar tengil.

"Marmut!" seru Gilang.

Diandra mengernyit. "Marmut dari mana? Badan gue gede gini, apanya yang kaya marmut?"

"Emangnya gue kaya monyet?"

"Gue liatnya gitu."

"Gue juga liatnya elo kaya marmut. Udah. Sesimpel itu."

Diandra memutar mata. "Okeeee. Jawab dulu, Nyet!"

"Jangan komentar sebelum gue selesai cerita, paham?"

"Iyeee,"

"Gue awalnya minggat dari rumah."

"HAH? Kok bisa?"

Gilang mendengus, "Jangan motong!"

"Oke lanjut!"

"Awalnya gue sibuk banget, les sana sini, bimbel, kegiatan sekolah aja udah nyampe sore, belum lagi ekskul. Semua orang tua gue yang ngatur. Gue pengen bebas! Gue akhirnya ikut gengmot dan....kurang lebih kaya lo. Akhirnya gue malah dikeluarin dari sekolah, karena dulu gue sekolah negeri. Orang tua gue selalu pengen jadiin gue sesuai kemauan mereka. Dikiranya gue robot, apa?!"

"Makanya gue mutusin buat tinggal sama Kakek gue dan sekolah di SMA swasta. Tapi sekarang gue udah nyaman disini."

Diandra mengangkat alisnya.

"Lo..."

"Hah?"

"udah dicari abang lo tuh!"

Diandra menoleh kebelakang, dan benar saja, Fernanda sudah bersender dipohon sambil menyilangkan tangan. "Udah jam 11!"

Diandra mendengus dan membuang pandangannya, walaupun kakinya tetap mengekor sang kakak menuju mobil.

"Jangan terlalu deket sama Gilang."

Diandra mengernyit, "jangan ngatur-ngatur gue!"

#####

Bad vs BestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang