13

1.5K 238 17
                                    

Malam ini aku ada tutor dirumah Luke, ia tidak bisa mendatangi rumahku karena sakit. Padahal sudah kubilang jika tidak usah tutor hari ini, tapi ia tetap keras kepala.

Kuketuk pintu apartemen Luke lalu dibuka olehnya yang sedang memakai pakaian tidur bergambar penguin dan syal yang melingkar di lehernya, tak lupa sepasang kaos kaki berwarna biru neon yang ia pakai.
"Hai," katanya. "Sini masuk."

Aku pun melangkahkan kakiku masuk kedalam apartemennya. "Sakit apa, Luke?"

"Homesick, kangen papa-mama." Ia berjalan kearah balkon tempat kita biasanya belajar. Dia bersila dengan beanie maroon dikepalanya. "Jadi belajar ga nih?"

"Iya jadi." Aku menyusul Luke di balkon dam duduk bersila didepannya. "Lu udah nelpon mama-papa lo?"

"Mereka ga suka sama gue." Aku mengernyit heran, "gue kan udah jujur sama mereka kalo gue gay."

"Hah? Demi apa?"

Dia mengangguk, "makanya mereka pindah ke jepang."

"Terus lu gimana kalo sekolah? Siapa yang bayar? Kalo lu perlu sesuatu gimana? Yang ngurus lu disini siapa? Kok lu bego sih?" Cecarku.

"Ya ortu gue, dari jauh. Mereka cuma ngejauhin gue, lebih tepatnya papa doang sih yang ngejauh, mama ikut atau dipaksa." Jawab Luke santai. Dia menopang dagunya di meja bundar didepan kami. Menatap buku matematikaku yang baru kukeluarkan. "Liburan Summer, lu ke Sydney?"

"Iya, kenapa?"

"Enak ya, gue masih disini anjir." Luke menatapku sendu. Iris birunya terlihat sayu dan bibirnya yang terlihat lebih pucat.

"Kenapa ga ke rumah ortu lu?" Tanyaku, "masa iya lo ditolak sih?"

"Gue dikasi nemuin mama gue kalo gue udah sembuh dari gay." Aku menelan ludah, jadi Luke ditinggal disini bukan hanya untuk sekolah. Tapi ia dijauhi untuk sementara.

"Lo harus sembuh kalo gitu."

Dia menggeleng, "i'm trying so hard, but ya know."

Luke berkali-kali menggosok-gosokan telapak tangannya. Udara hari ini memanglah sangat dingin, tak heran aku memakai lima lapis baju. "Udah makan Luke?"

"Belum, gue belum makan dari pagi." Iris birunya menatapku sayu.

"Gue masakin mau ya? Lo udah sakit terus ga makan." Dia berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. "Makan apa?"

"Gue ga punya apa-apa dikulkas selain telor." Aku menghela nafas lalu berjalan ke arah dapur. Luke membuntutiku lalu duduk diatas meja pantry. Ia menarik rambutnya ke belakang sambil memperhatikanku memasak.

"Emang bisa masak?" Tanyanya.

"Bisa, selo aja sih sama gue." aku pun mulai menggoreng dua butir telur diatas teflon. Luke tetap ditempatnya masih dengan memperhatikanku. "Udah laper atau gimana?" Tanyaku.

"Laper."

Setelah 10 menit selesai menggoreng telur, aku membawanya ke tempat aku dan Luke belajar. "Lo makan, gue ngerjain soal." Kataku, dia mengangguk.

Luke menikmati dua butir telur goreng dipiringnya sambil memperhatikanku mengerjakan soal, "kalo gue normal, mungkin gue udah jadian sama elu kali ya?" Kata Luke yang berhasil jantungku lepas dari tempatnya.

"Kenapa gitu?"

"Gue ga bisa bilang cewe cantik, jadi, lo cewe baik dan lugu." Satu senyuman lolos dari bibir Luke. Ia menampilkan deretan giginya padaku.

"Yakali."

***

Aku berlari sekuat tenaga menuju apartemen Luke. Tadi ia menelponku sambil menangis dan aku tak tahu apa yang membuatnya menangis.

Langsung kubuka pintu apartemennya dan mencari-cari Luke yang ada di kamarnya.

"LUKE!" pekikku saat melihat dirinya ada dipojokan kamar menelungkupkan kepalanya. "Lo kenapa?"

"Sakit." Ia memegangi kepalanya. "Gue mau ngeluapin Nath, tapi kenapa sakit?"

Peluhnya membasahi bajunya dan pelipis, tangannya gemetar dan bibirnya yang sudah pucat pasi. Kugenggam erat tangannya, lalu melepas beanie dikepalanya. "Lo bisa."

Ia menggeleng, matanya sudah memerah. "Luke, dengerin gue---,"

"Lo pasti bisa, lo harus berhenti nyakitin hati orang disekitar elu. Lo adalah cowo yang harus mencintai wanita sebagaimana papa lo cinta sama mama lo." Luke terdiam. Ia termangu menatapku, seandainya sedang tidak kondisi seperti ini, aku sudah melayang dibuatnya.

Aku berlari kearah dapur untuk mengambilkannya segelas air. Kuminumkan padanya secara perlahan. Tiba-tiba saja ia menggenggam tanganku erat sambil menangis. "Dimana lagi gue ketemu temen kaya elu, tha?"

Iya, temen ya Luke.

"Lo ilfil sama gue yang kaya gini?" Tanyanya pelan.

Aku mengangguk mantap, "lo ga ngelakuin tindak kriminal, ngapain gue ilfil?"

Luke mendekap tubuhku secara tiba-tiba. Punggung lebarnya sudah menjadi teratur dan lebih tenang. Ia menenggelamkan kepalanya di pundakku.

"Lo temen gue yang paling baik tha." Kata Luke

Temen.

"Makasi, Lukey."

Ia melepaskan pelukannya, "Tha, lo nginep ya?"

"Eh engga deh Luke, ga enak udah malem." Kataku. Sebenernya sih mau.

"Please." Aku mendengus lalu menuruti permintaan Luke. Terkadang perasaanku dengan Luke tak terbaca, sehingga perlakuan seperti ini sudah terlihat biasa olehku.

To be continued...

Me And Hus-band 2 : Luke HemmingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang