31

2.4K 235 50
                                    

Katanya jodoh tuh udah yang ngatur, eh tapi bukan katanya lagi. Emang udah ada yang ngatur.

Ini emang udah takdir Tuhan, setiap ciptaannya pasti punya pasangan. Contohnya aku dan Luke.

Sekarang adalah tahun ketujuh dari awal aku bertemu dengannya. 7 tahun untuk orang yang sudah saling mengenal memang waktu yang pas untuk mengakhiri. Tetapi berbeda dengan kami, kami masih didalam perjalanan yang mungkin akan berhenti ataupun tidak akan berhenti.

"Tha, mau sampe kapan gini terus, dia aja udah move on. Lu kapan?" Aku meringis.

Ucapan Jack memang benar, aku kapan pindah ke lain hati?

Gelar yang aku inginkan sudah kudapatkan, gelar yang selama ini kuperjuangkan untuk mendapatkannya sudah ditangan. Tapi kenapa ia susah untuk digenggam?

"Kaya megang air ya, susah banget buat digenggam." Kataku sambil tersenyum masam. "Padahal tadinya sedeket lubang idung, tapi kenapa bisa sejauh telinga? Bahkan telinga aja ga bakal mungkin bersatu."

"Yeuuu bu dokter, ini tuh masalah hati, kalo ga diobati nanti berbekas, kalo berbekas, kebayang mulu. Lupain sekarang atau semuanya terlambat."

Semua penjelasan sudah didapatkan. Dia cinta aku dan aku juga cinta dia. Tapi sebuah cinta perlu di deklarasikan kan? Sebagai pengkokoh agar tidak ada keraguan.

"Tha, dia udah bahagia sama yang lain. Lo juga dong. Kan gue pernah bilang, jangan maksain kehendak orang lain." Jack mendengus, "besok lu pake toga, gue maunya lo bahagia terus, lo udah gede tha, jadi bu dokter beneran bukan lagi yang bohongan."

Aku menangkup wajahku dengan kedua telapak tangan. Yang kubingungkan sekarang ini adalah aku ingin melihat Luke di graduation ku besok.

"Gue cuma mau dia dateng, ga lebih."

"Gimana caranya lo bilang ke dia untuk dateng? Sedangkan lo sama dia udah kaya orang ga kenal gini, maksud kalian kaya gini tuh apa?!" Rahang Jack mengatup keras. Matanya mulai memerah menahan kemarahan.

Sejujurnya aku juga marah kepada diriku sendiri, mencintai orang dengan kurun waktu yang lama, yang sudah jelas orang itu susah digenggam.

"Jack," dia menoleh, "Salam buat Luke."

Aku melangkah pergi meninggalkan Jack dibangku taman itu. Melangkah pelan untuk menghindari penglihatan orang dengan aku yang sedang berada dalam keadaan menangis ini.

Aku hanya merindukan Luke. Padahal ia tidak pergi kemana-mana. Dia masih di Sydney, aku pun begitu. Rasanya ia seperti pergi jauh, tanpa kabar apapun. Padahal mata kami masih sering bertemu di kantin.

Menyapa? Tidak. Bahkan seperti orang yang tidak kenal. Aku tidak tau kesalahanku apa, hanya saja ia terlihat berbeda.

Aku mengusap wajahku dengan kasar saat akan melajukan mobilku pulang ke rumah. Lelah harus seperti ini. Menggantungkan sebuah harapan kepada orang yang seperti batu bernyawa.

Sakit melihat senyumnya yang tak lagi kearahku. Sakit melihat tawanya yang tak lagi karenaku. Ia berbeda.

Esoknya, lengkap dengan toga dan kamera yang kukalungkan di leher, aku pergi ke sekolah. Dengan segenap keluasan hati, kulangkahkan kakiku masuk ke ballroom tempat graduation.

Hari ini aku mendapat pidato forum karena mendapat nilai tertinggi. Jadi segala materi yang akan kusampaikan sudah ada diluar kepala.

"Selamat pagi semuanya," sapaku. Semua menyambut salamku dengan lembut. "Aku tidak tau akan seperti ini, rasanya seperti mimpi saja. Padahal lima hari yang lalu, masih dimarahi dosen karena telat ngumpul tugas dan langsung buru-buru ke tukang print."

Me And Hus-band 2 : Luke HemmingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang