Perdebatan yang terjadi di taman dekat Istana Ratu Elizabeth kemarin terngiang-ngiang di kepalaku. Pasalnya, aku mengiyakan permintaan Luke dengan syarat-syarat yang dia ajukan.
Pertama, aku harus mengajarinya hal-hal berbau dengan pacaran. Kedua, tidak seorangpun yang boleh tau jika kami hanya bohongan. Dan yang terakhir, aku harus selalu bersedia untuknya begitupun sebaliknya.
Dan yang tadi, acara rangkul-rangkulan saat memasuki area sekolah ia lakukan hanya untuk membiasakan diri.
"Lo pacaran sama Luke? Ga boong kan?" Tanya Vanila
"Iya, ga boong." Sedari tadi Vanila hanya menanyakanku pertanyaan seperti itu. Berulang kali.
"Dia udah sembuh? Secepat itu?" Aku diam. Memang aneh terdengar bagi Vanila. Terlebih Vanila sudah tau rahasia paling rahasia dari Luke. "Tha?"
"Gue beneran jadian sama dia, udahlah Van, mungkin dia ga sepenuhnya sembuh tapi harus dicoba." Ucapku.
Vanila diam lalu menenggak limun punyanya. "Yaudahlah, goodluck tha."
Tak lama kemudian, Luke berlari kecil menghampiriku dan membuat jambul dikepalanya naik turun tak lupa senyuman dikembangkan oleh bibirnya yang pink. "Hai." Sapanya
"Hai juga, abis darimana?" Tanyaku.
"Loker, naro sepatu. Nanti pulang sekolah, anterin gue ke toko kue ya?" Aku mengernyit, "okay?"
Aku mengangguk, lalu dia duduk disamping Vanila. Sehingga Vanila ada ditengah kami. "Gue ga ngerti deh, kalian beneran pacaran?"
Luke mengangguk, "Iya, sekarang gue pacarnya atha."
"Demi?" Tanya Vanila lagi.
"Demi lovato." Aku memutar mata. Vanila mendengus lalu mencolek lengan Luke, "kapan lu nembak atha?" Tanya Vanila
"Kemaren, di istana ratu Elizabeth."
"Coba ulang penembakannya, gue kan ga liat." Aku mendelik, Luke tersenyum samar. Lalu menatapku sekilas.
"Atha, lo mau ga jadi pacar gue? Meskipun gue ga sepenuhnya sembuh, tapi gue bisa sepenuhnya mencintai elu. Gitu." Vanila dan aku menganga. Jelas yang tadi Luke katakan berbeda sangat jauh dengan kenyataannya.
"Serius gitu?" Luke mengangguk.
"Yaudahlah goodluck."
***
"Mau beli kue apa sih Luke?" Luke menggandeng tanganku masuk ke dalam toko kue didekat apartemen Luke.
"Kue tart. Lo suka kan?"
"Emang siapa yang ultah?" Tanyaku.
"Papa gue," aku tercengang. "Yah meskipun gue jauh dari dia, ya kenapa engga?"
Luke berlalu memilih tart ukuran medium sambil menanyakan apa isi dari tart tersebut. Lalu diam-diam ku foto dia dengan kamera ponselku. Hanya sebagai dokumentasi.
Tak lama kemudian, ia datang dengan kotak kuenya. "Ayok tha, gue beli black forest jadinya."
Aku mengambil alih membawa tart tersebut karena tangan Luke yang masih di perban. "lo setiap tahun ngelakuin hal kaya gini?" Tanyaku.
"Iya, karena gue ga bisa ngucapin selamat ulang tahun, yaudah gue rayain sendiri."
"Sendirian?"
"Mau lo sama Nathan?" Aku memutar mata. "Bercanda gue."
"Bodo." Setelah sampai di apartemen Luke. Ia membuka pintu dan langsung menuju kamarnya untuk ganti baju. Setelah itu, disusul aku juga yang akan ganti baju.
Setelah aku selesai ganti baju, kudapati Luke duduk di sofa sambil menonton TV. Kuhampiri dia dan duduk disebelahnya namun tidak terlalu dekat. Aku masih canggung padanya, "Lu mau makan ga?" Tanyaku.
"Liat itu." Ia menunjuk serial drama di TV. Adegan itu sedang movie marathon bersama pasangannya. "Kita cobain yuk."
"Nama gue bukan ayuk." Kataku bercanda
"Kita cobain ya tha?"
"Ngapain?"
"Bego, ya movie marathon lah." aku mengangguk. Lalu ia berkutat dengan dvd dibawah tvnya. "Lo mau nonton apa? Horor?"
"Boleh." Lalu ia balik lagi duduk disampingku. Aku duduk disamping kirinya agar tidak kena tangannya yang masih diperban itu.
Sebenarnya aku tidak penakut, hanya saja takut kaget. Jadi selama nonton aku menutup wajahku dengan tangan. Begitupun dengan Luke.
Setelah selesai menonton film, Luke mengajakku keluar. Dengan berjalan kaki dan memutari sekeliling kota London. Katanya untuk mensegarkan otak.
"Hasil ujian lu udah keluar?" Tanyanya sambil menyeruput hot choco di gelas on the go -nya.
"Besok, haduh soalnya susah banget najis."
"Kalo nilai lu jelek, ada hukuman dari gue." Aku langsung menatapnya kaget. "Selo, gampang kok."
Aku memutar mata dan membiarkan Luke berceloteh dengan hasil nilai ujianku tersebut. Karena tipikal soalnya yang susah, membuatku optimis akan terkena hukuman dari Luke.
"Tha, kok pikiran gue masi ke Nathan aja mulu." Kata Luke.
"Karena move on itu susah, ya lo harus coba lah." Mendengar ucapan Luke tadi sangat menyayat hati. Terlebih ternyata aku mengetahui fakta bahwa aku tidak dicintai balik.
"Sampe kapan?"
"Sampe lu bisa ngerasain rasanya dicintai oleh seorang cewe." Luke menatapku sendu. Kerlingan matanya karena pantulan cahaya lampu membuat matanya sangat indah.
"Emang ada gitu yang mencintai gue?" Aku mengangguk, "siapa?"
"Nanti juga lo tau."
"Kadang gue ngerasa perasaan seorang cewe ke gue itu beda sama yang gue punya buat Nathan, makanya itu gue pengen sembuh."
"Lo terkesan memaksakan kehendak."
"Daripada gue kaya gini mulu, ga selesai-selesai. Dan nanti gue tambah parah, gimana?" Luke menaikan satu alisnya.
"Ya jangan sampe."
"Makanya itu."
Termangu menatap jalan, disertai dengan hembusan angin membuat rambut Luke diterpa angin membuat obrolan kecil kami terasa sangat berarti.
Bahkan Luke yang kumau sudah bisa kurasakan didepanku. Bukan dengan atha pemalu dan sangat bodoh matematika, tapi atha yang berusaha untuk merubah segala sesuatu tentang Luke.
Lalu tiba-tiba ia menggenggam tanganku, "gue pernah baca di suatu buku. Gue ga perlu menjadi Eros untuk bisa memanah hati perempuan, tapi dengan menjadi diri sendiri dan mengerti hati perempuan, panah dari Eros sangat kalah dengan yang gue punya. Tapi, apa yang gue baca itu bener, kalo yang gue punya cuma sebersit rasa ingin melindungi?"
To be continued.
Tadi katanya ceritanya eror, udah gue perbaiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Hus-band 2 : Luke Hemmings
Fanfiction¤ Me And Husband : Calum Hood (related) ¤ *** "Gue pengen jadi rumus matematika deh," "Kenapa?" "Biar selalu lo inget."