Pagi-pagi sekali, Vanila telah membuatku jengkel. Ia mengirimiku sebuah foto yang kukenal betul siapa itu. Dia Luke dan Emily--anggota cheers yang paling cantik--sedang berpelukan.
Aku sih tidak berat dengan Emily, aku berat dengan siapa itu Emily. Gadis cantik dan betubuh bagus, aku sih apa? Wanita berambut brunnette, beralis tebal, yah pokoknya aku tuh twinnya papa banget. Kecuali hidung, hidungku mirip mama.
"Athalia!" Teriak seseorang. Aku menoleh dan mendapati Luke sedang berlari kearahku. Rasanya aku ingin berteriak, "Anjing! Gue dipanggil sama Luke fucking Hemmings!". Tapi tidak jadi.
"Atha aja," protesku "kenapa?"
"Hari ini gue gue sampe sore di sekolah, kalo tutor malem gapapa?" Kata Luke.
"Malem? Dimana?" Ia diam sebentar. "Gue bisa sih," sambungku.
"Karena lu cewek, mending di rumah lo aja. Takutnya kan kalo dirumah gue, elo-nya yang bahaya pas pulang."
Gue mati, iya gue mati.
***
"Gue mau nangis bangsat," kata Vanila. "Gue kangen sama mama."
Iya, Vanila itu juga bukan orang sini, dia berasal dari Belanda. "Gue juga kali, kemaren gua nangis pas papa skype."
"Lu mah enak tha, papa lu masih nyariin lu. Nah gue, ditelpon aja jarang." Vanila memberengut, "Gue galau."
"Udah, lu dipercayain sekolah disini, lo jangan beratin mereka lah."
"Ah bodo ah," teriak Vanila, "hari ini gue ada jadwal tutor."
"Sama, gue juga." Vanila menatapku bingung, "apa?"
"Kemaren lu tutor sekarang lu tutor, lu setiap hari ada jadwal?" Aku menyerahkan lembaran jadwal tutorku yang disusun Luke. Sebenarnya, jadwal tutor yang diberikan Luke itu sesuai kehendaknya dia dan aktivitas dia. "Jadi lo kayak ga terjadwal gitu ya? Yang penting seminggu tiga kali?"
"Iya, hari ini Luke ke rumah gue." Vanila mendelik, "selaw anjeng, gue udah buat selaw nih."
"Gimana ga selaw, doi lu bakal kerumah lu sat." Aku memutar mata, "gue harap nafas lu banyak."
"Bacot Van," aku menghela "kapan gitu ya, Luke dateng kerumah gue karena mau ngapel, bukan tutor."
Vanila mengendikkan bahunya, lalu kami memutuskan untuk melihat anak-anak cheers latihan di lapangan. Dan kami memutuskan untuk membolos kelas selanjutnya, "kalo ada anak cheers latihan, biasanya ada Emily."
"Bacot," sanggahku "sakit hati gue."
Tak lama kemudian, kami menemukan spot yang tepat untuk duduk dan melihat mereka latihan. Ditemani hotdog dan limun segar yang dijual gratis di kantin sekolah.
"Kak Aaron!" Aku menoleh pada Vanila yang memekikkan nama seseorang. "Dia tutor gue tha,"
Laki-laki bertubuh atletis, dan berwajah aesthetic itu datang menghampiri kami. Sialan Vanila, batinku.
"Kak, aku belum dibuatin jadwal?" Tanya Vanila, "eh sebelumnya kenalin ini temen aku, namanya atha."
"Aaron,"
"Atha,"
"Gimana kak?"
"Belum nih dek, aku masih sibuk bikin jadwal latihan baseball." Kata Aaron, "tapi tenang aja, nanti siang jadi kok tutornya."
"Oke deh kak," Vanila tersenyum singkat saat Aaron melangkah pergi. "Cogan kan tha?"
"Iya, tapi coganan Luke." Aku terkikik.
"Kenapa tha?" Aku mengalihkan pandangan ke mana suara ini berasal. Dan benar saja, aku melihat Luke yang sedang menggenggam botol minumnya yang kini duduk di deretan kursi depan.
"Bangsat," gumamku. Vanila menyikut lenganku, kini aku takut.
"Eh engga Luke, tadi si Atha bilang gini, 'iya tutor gue Luke' gitu." Bela Vanila, ia menyikutku lagi untuk menyadarkanku dari lamunan.
"Eh uh iya hehe." Kataku gugup, Luke hanya menaikan satu alis dan berlari ke arah lapangan. "Anjing, gue hampir aja mati sat."
Vanila ngakak sampe keselek limunnya, "Muka lo su, ngakak banget."
"Anjir lu ya," aku menatap sinis Vanila dan menyender pada sandaran kursi sembari meneguk sedikit demi sedikit limunku. Tiba-tiba saja Vanila terbatuk dan ia menunjuk sesuatu di depan sana.
Yang sama sekali tidak enak untuk dipandang. Luke Hemmings, gebetanku, menggenggam tangan Emily, gadis cantik anggota cheers di tengah lapangan.
***
Aku menjemput Luke di lobby apartemenku. Malam ini ia memang akan mengajarku lagi. Setelah kejadian tadi siang, rasanya aku ingin menubrukkan kepalaku ke gawang futsal. Terlebih sekarang ia datang ke apartemenku, aku ingin melempar badannya dari lantai kamarku sampai ke basement.
"Luke!" Ia menoleh, "sini."
Dengan gayanya yang santai, ia berjalan ke arahku sambil menggendong ranselnya di satu bahu. Sialan, ganteng banget, batinku.
"Kamar lo di lantai berapa?" Tanyanya saat kami masuk ke dalam lift.
"Lima belas," ia memencet angka lima belas dan menyender pada dinding lift.
"Tha," aku berdehem, "tadi lo kenapa kabur?"
"Maksudnya?"
"Kan pertandingan belum mulai, tapi gue liat lo udah ga ada." Lah anjir, dia nyariin gue.
"Oh, Vanila kebelet boker." Aku tau kok, besok aku akan ditoyor Vanila.
Luke ketawa, sampai-sampai semua keindahan di wajahnya terlihat semua. Lesung pipinya, matanya yang menyipit jika tertawa, tuhkan Luke lo mau bikin gue mati.
"Lah lu kenapa ketawa?"
"Engga, gue kira lu yang kebelet boker."
"Sialan." Tepat sekali pintu lift ini berdenting dan sampai di lantai lima belas.
Aku membuka pintu apartemenku dan membiarkan Luke masuk, "permisi." Ucapnya.
"Bentar gue ambil buku sama minum." Aku buru-buru ke kamar mengambil buku matematika. Dan kembali lagi ke sofa dimana Luke sedang duduk memainkan ponselnya. Iya gue tau, lo pasti smsan sama Emily kan, Luke?
"Lo sendiri doang?" Tanya Luke.
"Iya, lo?"
"Sama," ia membuka buku matematikanya dan mulai mengajariku tentang Aljabar. Lalu ia memberikanku soal dan menyuruhku untuk mengerjakan di buku itu langsung. "Buku tulis yang gue maksud mana?"
"Ini," aku menyerahkan buku tulis persegi panjang padanya. Yang sudah kutempeli dengan sticker-sticker tumblr dengan sengaja.
"Nama lengkap lo siapa?" Tanya Luke disaat aku sedang sibuk mengerjakan tugasnya.
"Margaretha Athalia Hood."
Ia tulis namaku beserta namanya dia sebagai tutor dibalik sampul buku itu.
To be continued...
Gue excited banget nulis ini yawlaaaaaHAHAHAHAHA gatau kenapa dah
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Hus-band 2 : Luke Hemmings
Fanfiction¤ Me And Husband : Calum Hood (related) ¤ *** "Gue pengen jadi rumus matematika deh," "Kenapa?" "Biar selalu lo inget."