Besok paginya, Luke bertanding di turnamen antar-angkatan. Aku dan Vanila duduk dibangku penonton seperti biasanya. Urusan Nath, aku sama sekali tidak menyapanya tadi.
"Gimana lo sama Luke?" Tanya Vanila sambil memakan kripik dan limun gratisan punyanya.
"Ya gitu aja sampe gue sama dia gitu-gituan." Vanila cengengesan. "Cape dah, boro-boro mau jadiin dia pacar gue. Dia aja belum sembuh."
"Terus kalo dia ga sembuh-sembuh gimana?" Tanya Vanila.
"Gue pernah baca di buku, kalo ada kemauan pasti ada jalan. Gue mau Luke sembuh pasti ada jalannya." Aku menatap Vanila sekilas lalu lanjut menatap ke arah lapangan. Disana Luke sedang berlari-lari dengan teamnya untuk mencetak gol.
Aku dan Vanila menikmati jalannya pertandingan. Sudah dua kali Luke menyumbangkan golnya untuk tim angkatan kami sehingga dengan tim kakak kelas menjadi seri. Kuharap ini Luke lagi yang mencetak golnya.
Diakhir-akhir pertandingan saat Luke datang dengan bolanya menuju ke gawang, kakinya dijigal oleh seorang kakak kelas sehingga ia terjatuh.
Ia merintih kesakitan lalu dibawa ke pinggir lapangan untuk diobati, "Van, Luke!!"
"Samperin samperin." Aku langsung menuju kemana Luke dibawa. Lalu kulihat ia sedang diberi pertolongan pertama sekalian meronta-ronta kesakitan.
"Tangannya cidera." Ucap salah satu petugas yang menolong Luke. "Bawa kerumah sakit."
Peluh dari pelipis Luke sudah sangat membanjiri. Terlebih Vanila yang mencengkram bahuku saat petugas itu bilang tangan Luke cidera.
Luke dibawa ke mobil dengan tandu, kupikir kakinya juga keseleo. Aku melihat punggung petugas itu menjauh dan membawa Luke masuk ke mobil.
Pertandingan tersebut terhenti selama 10 menit karena kecelakaan Luke. "Terus gimana Van?" Tanyaku.
"Lo masih ada kelas?"
"Iya, tapi gue pengen nemenin Luke." Kurasa mataku berkeringat sehingga satu tetes air turun melewati pipiku. "Gue ada ujian harian Math."
"Nanti aja kita jengukin Luke."
Degup jantungku terasa lebih cepat dari sebelumnya, masa tutorku dengan Luke tinggal tiga bulan lagi. Dan ini ujian Math pertama selama aku ditutorkan.
Aku menggenggam pensilku erat-erat, namun suara notifikasi dari ponselku membuatku harus mengeceknya.
Saat kulihat bacaan satu pesan masuk, aku langsung membukanya cepat-cepat.
Lukey : goodluck :)
"ANJING." Reflekku.
Teman disamping mejaku melihatku dengan heran. Dengan rasa malu yang begitu besar, aku tersenyum kecil padanya.
Cepat-cepat kubalas pesan itu sebelum guru matematikaku masuk ke kelas.
***
Berlari di lorong rumah sakit bukanlah hal yang bisa ditiru. Berulang kali Vanila berteriak menyuruhku untuk berhenti berlari, namun aku tidak menghiraukannya.
Setelah nomor kamar rumah sakit tujuan kami sudah ditemukan, aku mengetuk dan membuka pintu putih itu. Ditemani Vanila di belakangku.
"Hai Luke!!" Samber Vanila yang membuat Luke kaget.
"Hai Van," katanya. "Hai tha.""Hai Luke, lu bakalan dirawat di rumah sakit?" Tanyaku.
"Engga, nanti sore udah dibolehin pulang. Kenapa?"
"Dengan tangan kanan lo kaya gitu?" Tanya Vanila yang langsung mendapat anggukan dari Luke.
"Bege." Ucap Vanila, "lo tinggal sama Luke gih tha."
Aku mendelik, "wah boleh tuh." Jawab Luke
"Kok gue yang kena?" Sebenarnya aku sudah tau maksud Vanila. Tapi lumayan juga sih bisa serumah dengan crush mu sendiri.
"Lagian Luke guru lo, masa iya lo tega nyuruh dia ke rumah lu tiap ada jadwal tutor." Luke mengedip-ngedipkan matanya berulang kali. Bukan maksud genit, ia seperti bingung juga. "Gimana luke? Tha?"
Aku diam, sedangkan Luke,--
"Gue setuju."
.
Dengan paksaan dari Vanila sampai-sampai ia repot-repot mempacking bajuku dan diantar ke apartemen Luke, aku tinggal disini untuk sementara.
Dengan adanya dua kamar disini, aku menggunakan satu. Luke berdiri di pintu sambil bersandar, "kalo kepaksa, gue cariin taksi dibawah."
Yeu bege, ya gue sukalah!
"Engga, gue ikhlas lahir dan batin." Kataku
"Serius?" Aku mengangguk. Lalu dia menutup perlahan pintu kamar baruku dengan tangan kirinya, "kalo gitu, gue ke kamar dulu."
Setelah pintu benar-benar tertutup, aku langsung naik ke atas kasur dan loncat-loncat kegirangan. Aku merasa kasur ini adalah trampolin yang harus dimainkan.
Namun tiba-tiba, "tha gue butuh,-- lo ngapain?"
Luke menatapku bingung dan aku mati-matian menahan rasa malu-ku. "Tadi cuma ngecek kasur doang hehe."
Luke tersenyum, manis, kaya gula. Gue semutnya.
"Oh yaudah deh."
***
Minggu pagi aku bangun di kamar baruku. Dan karena kebetulan aku bangun sangatlah pagi, aku langsung menuju dapur.
Sesampainya di dapur aku melihat Luke sedang menyeduh susu coklat dengan mug superman-nya. "Pagi," sapanya.
"Pagi juga." Kataku kikuk, "ini masih pagi dan lo bangun sepagi ini?"
"Udah biasa." Ia meneguk susu coklatnya lalu duduk di kursi bar ruang dapur. "Lo mau minum susu juga? Itu bubuknya ada di counter nomer dua dari kiri."
"Ga suka susu gue," aku duduk disamping Luke sambil bertopang dagu karena masih sedikit mengantuk.
Kami diam beberapa saat yang terdengar hanya bunyi seruputan susu dari Luke dan mug superman-nya. "Jalan yuk Luke." Ajakku
Luke tersedak sedetik sesudah aku mengatakan hal itu. "Eh lu ati-ati minumnya."
"Lu ngajakin gue jalan?" Aku mengangguk, "lu masih sehat kan tha?"
"Astaga masih Lukee! Apanya yang salah sih?" Luke menggeleng berulang-ulang, kurasa pipinya Luke bersemu merah. Eh?
Ia meninggalkan mugnya dan masuk ke kamar, "Loh luke?" Kataku.
Dia masuk ke kamarnya tanpa meninggalkan sepatah katapun. Apa aku salah hanya mengajaknya jalan?
Lagi. Aku bertopang dagu, melirik pintu kamar Luke yang didepannya ditempeli stiker gratisan dari clothing baju.
Lalu tiba-tiba suara pintu terbuka. Aku langsung menoleh ke arah pintu. Jelas, pintu kamar Luke.
Ia berdiri disana dengan tangan kanannya yang di perban. "Ayo, gue mau jalan sama elo."
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Hus-band 2 : Luke Hemmings
Fanfiction¤ Me And Husband : Calum Hood (related) ¤ *** "Gue pengen jadi rumus matematika deh," "Kenapa?" "Biar selalu lo inget."