"Lu seriusan balik siang ini? Lu bahkan belum ke keliling kota Leeds." Cecar Jack. Ia masih dengan mata mengantuknya karena mengejar deadline semalaman.
"Serius, gue tau lo sibuk jadi gue naik kereta aja sendiri. Gausa khawatirin gue, okay?" Jack menggeleng cepat.
"Ga bisa, lu tanggung jawab gue kalo di Inggris. Kalo di Sydney, ya bokap lu." Ia menguap beberapa detik sehingga keluar air mata di pelupuk matanya. Ia pun menghapus cepat bulir air mata tadi.
"Jack, gausa maksain. Gue tau lu tidur jamber kemarin, dan lu dalam keadaan ngejar deadline, so, gausa repot-repot gue bisa pulang sendiri." Aku menepuk bahu Jack pelan lalu meninggalkannya masuk ke kamar untuk packing.
Me : gue pulang ke London siang ini. Make a sure lu jemput gue di stasiun.
Aku memencet tombol send ke pemilik nomor itu, ya, dia Vanila.
Memang akunya yang terlalu lebay sehingga mensugesti bahwa sesuatu terjadi pada Luke atau feeling?
Kuat perasaan bahwa aku harus cepat ke London menyatakan. Jadi mungkin saja, perasaanku sekarang benar adanya.
"Hei," sapa Jack di ambang pintu. "Kasi gue alesan kenapa lo mau balik hari ini ke London."
Aku menghampirinya yang masih diambang pintu, "gue gatau gue gila atau gimana, tapi kuat feeling gue bilang kalo sesuatu terjadi sama Luke. Jadi gue harus ke London sekarang."
Jack membuang muka, "lo tau, ga semuanya bisa dilakuin dengan perasaan."
"Iya iya gue juga ga ngerti kenapa gue gini, gue cuma pengen ke London sekarang." Aku memasukan baju-baju ke dalam koperku. Sekarang Jack berdiri dibelakangku dengan tangan yang melipat didadanya.
"Lo bisa ga sih berhenti peduli sama dia? Apa perlu gue sebutin apa-apa aja yang dia lakuin ke elu?" Kata Jack setengah berteriak.
"Jack," ia menoleh, "i do love him."
"Sorry gue kasar, tapi, lu cewe bego yang pernah gue temuin. Sorry tha sorry. Dia udah nyakitin elu berapa kali sih tha?! Dia udah bikin memori indah berapa kali sih tha?! Sampe elu ga bisa lupain dia?"
Iya, memang aku bodoh. Benar apa yang Jack katakan, jangan salahkan dia.
Tapi, aku tetap tidak bisa.
"Iya gue ngerti, tapi gue janji sama elu. Kalo kali ini gue cuma mastiin di London ga terjadi sesuatu, seenggaknya kalo London baik-baik aja, Vanila ga sampe nelpon gue."
"Gue ikut lo ke London."
***
"Lo dimana? Gue udah di stasiun." Ucapku pada orang disebrang sana. Sepuluh menit sebelum aku sampai di stasiun, Vanila sudah dalam perjalanan ke Leeds. Ia hanya sehari di Belanda karena harus terbang kesini lagi. Aku juga tidak mengerti jelas alasannya.
"Itu tha, Vanila." Tunjuk Jack
Aku langsung melihat kearah Jack menunjuk, lalu aku tersenyum dan mematikan sambungan telepon kami.
"Hai." Sapa Vanila.
"Please to the point." Ucapku, seakan mengerti.
"Kita perlu cari tempat yang sepi tha,"
Kami pun menuruti apa kata Vanila. Dan tempat tujuan kami adalah cafe kecil di sudut kota, tempat aku dan Vanila biasanya mengerjakan tugas karena wifi mereka yang memang bagus.
Setelah memesan makanan, aku memaksa Vanila untuk langsung cerita apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku harap, feelingku yang tadi pagi, sangatlah salah.
"Please, gue juga kaget dengernya. Gue mohon sama lo tha, jangan berubah mood dan tetep makan." Ucap Vanila dengan mimik wajah yang sudah dapat kutebak, ini berita buruk.
"Okay," ucapku ragu.
Vanila menarik nafasnya, kulihat juga Jack memasang wajah penasaran. "Luke tha, dia pergi."
Aku yang merasa bingung dengan ucapannya hanya bisa mengernyitkan dahi, "dia pindah sekolah."
"Maksudnya?" Timpal Jack. Sekarang ia juga ikut penasaran.
"Kemarin gue ketemu Emily sama Luke pas di bandara, sorry gue ga jadi ke Belanda karena masalah ini. Jadi yang waktu gue bilang ke elu kalo gue di Belanda, gue bohong." Vanila diam sebentar, lalu ia mengeluarkan beberapa kertas foto dari tas gendongnya.
"Pas di bandara itu, kita bertiga bicara. Karena gue dongkol sama Luke, gue slay orangnya sampe dia gabisa ngomong. Dan ada Emily yang nengahin gue, Luke gue kasi kesempatan bicara tapi hal yang pertama kali dia bilang itu cuma 'Van, jagain atha buat gue' dan gue bingung," sambung Vanila.
"Please, Van. Maksudnya apa?"
"Luke pindah sekolah, sama Emily. Gue juga ga tau mereka pindah kemana, dan jelas mereka bukan di Inggris."
"Alasannya?"
Luke menarik nafasnya, "Van, gue fucked up sama hidup gue disini. Masalah muncul terus dan ngebuat gue ga bisa tinggal disini lama-lama. Gue juga udah minta tolong Emily buat jelasin ke ortu gue, kalo gue sehat dan udah ga kelainan kaya kemaren."
"fucked up? Atha?"
"Iya dia termasuk, lu tau, gue tersiksa sama dilema. Antara atha atau harga diri gue. Gue jadian sama Noella juga bukan kehendak gue. Jadi dia pernah nguping pembicaraan kita mungkin yang ngebahas tentang rahasia gue."
"Jangan bilang lu diancem gitu, Luke." Ucap Vanila
"Iya, kalo gue ga jadian sama Noella, fakta gue gay bakal kesebar di seluruh sekolah. Dan itu ngebuat gue tambah susah buat ketemu mama dan papa gue. Dan disisi lain, atha nunggu gue. Gue tau itu."
Keheningan menyelimuti ketiga orang itu. "Oiya Van, gue minta tolong ke elu, bilang ke Atha, kalo acara di funfair itu maksudnya bukan buat mainin perasaannya dia. Maunya gue bilang ke dia waktu itu buat jadi pacar beneran gua, tapi keduluan Noella ngancem gue."
"Terus lo sama Noella gimana?"
"Gausa tanya, kalo nanti abis liburan ada berita gue gay. Gue minta tolong ke elu, bantu jelasin." Lalu Luke menyerahkan beberapa lembar foto polaroid pada Vanila.
Disana terpampang jelas, foto Luke dan Atha di funfair waktu itu. "Buat bukti kalo atha pacar gue." Kata Luke
"Terus lo mau ninggalin atha gitu aja?"
Luke mengangguk, "dianya udah terlanjur benci lah. Yaudahlah gapapa. Nanti kalo jodoh ya ketemu lagi."
"Yaudahlah, gue sama Emily masuk dulu. Nanti salamin sama atha. Gue minta tolong ya, bantu atha kalo dia kesusahan."
Aku menangis sejadi-jadinya. Namun bukan kepergian Luke yang aku tangisi, hanya saja, semenjak ada aku hidup Luke sangatlah berubah.
Aku mengusap kasar air mataku lalu memeluk Jack, ya siapa lagi orang yang bisa kupeluk selain Luke? Vanila?
"Van,--"
"Tha, gue tau lo sedih, gue tau lo sakit hati, tapi emang gini adanya. Tapi itu ga harus bikin hidup lo juga fucked up." Vanila mengelus punggungku.
"Gue tetep sayang sama Luke van, even gue mau lari kemarin." Jack memelukku lebih erat kini matanya memerah seperti menahan sesuatu.
"Jackie, pak guru gue." Lirihku.
"Ssst udah lo makan aja dulu, tenangin diri." Ucap Jack lembut.
You were the shadow to my light
Did you feel us?
Another start, you fade away...
To be continued..
Udah gitu ae mentok gue. Btw soon gue bakal punya ff collab hehe. Semoga suka ya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Hus-band 2 : Luke Hemmings
Fanfiction¤ Me And Husband : Calum Hood (related) ¤ *** "Gue pengen jadi rumus matematika deh," "Kenapa?" "Biar selalu lo inget."