Reflection - Tiga

8.8K 816 85
                                    

3. Kerja Kelompok Perdana

        Pening. Hanya satu kata tapi bisa mendeskripsikan keseluruhan apa yang tengah Rara rasakan saat ini. Kepalanya terasa berputar hebat sembari ditusuk-tusuk dari berbagai sisi. Rasa mual juga mulai menjangkit. Ia mencoba memejamkan matanya, berharap bisa menetralisir rasa yang selalu ia rasakan setiap pagi.

        "Non Ara? Udah bangun?"

        Rara sedikit menggerakkan kepalanya ke arah pintu kamar yang menjadi sumber suara tersebut. Dengan suara seraknya, ia pun menjawab. "Udah, Bi."

        Selanjutnya suara pintu terbuka memasuki indra pendengaran cewek itu. Rara masih memejamkan mata ketika sebuah benda yang lembab dan hangat diletakan persis di atas keningnya.

        "Non Ara pulang jam dua pagi tadi, dianterin sama temen Non yang biasanya."

        Rara mengangguk menanggapi informasi dari wanita tua yang sudah bekerja dengan keluarganya sejak kecil. Matanya sedikit terbuka, hendak melihat raut wajah Bi Sumi yang selalu memancarkan kekhawatiran ketika melihatnya sesakit ini.

        Hal semacam ini sudah sangat biasa terjadi. Dalam seminggu, mungkin frekuensinya bisa mencapai tiga kali. Cewek itu sangat ingin menolak kejadian seperti ini terjadi. Namun, dia tak bisa. Semuanya seperti sudah terancang dan sudah seharusnya dilakukan. Dia hanya bisa menurut dengan titah darinya.

        "Non Ara mau sekolah? Sekarang udah jam lima pagi."

        Rara lagi-lagi hanya mengangguk. Tenggorokannya masih sakit.

        "Ya sudah. Non Ara sekarang mandi dan siap-siap, ya. Bibi siapin sarapan sekaligus jus jeruk biar hangover-nya reda. Semoga hari Non Ara menyenangkan dan dia tak datang lagi," ucap Bi Sumi dengan selipan do'a seperti biasa yang selalu diakhiri dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya.

***

        Hari ini, Milo berpindah tempat duduk. Jika biasanya dia selalu duduk di kursi nomor dua barisan nomor tiga, kini dia berpindah ke kursi paling belakang di sudut kelas barisan pertama, dekat pintu masuk. Hal ini sengaja diubah mengingat frekuensi Citra dan Jati saling adu argumen meningkat akhir-akhir ini dan berhubung hanya Milo yang sanggup memisahkannya, maka jadilah Milo yang berada di tengah-tengah keduanya. Jati duduk di pojok sementara Citra di seberang persis. Setidaknya, kelas akan lebih tentram sejak hari ini.

        Namun, tidak untuk Milo.

        Pak Ali selaku guru agama Islam yang tengah memberikan kuliah tujuh menit di akhir pelajarannya sama sekali tak bisa menggubris Jati yang sejak tadi sibuk dengan bacaan komiknya. Hal ini tentu saja tak ketahuan karena Jati dengan cerdiknya menutupi komik tersebut dengan buku agama. Sebenarnya, hal ini tak akan mengganggu Milo jika Jati tak tertawa cekikan. Dia jadi tak fokus.

        "Ti, diem dong. Ntar Pak Ali ngomel terus jam dia makin panjang," tegur Milo berbisik yang membuat Jati menoleh. Cowok itu mendengus sebal. "Lagi seru tau, Mil."

        "Bentar lagi istirahat kok. Tunggu aja."

        Pak Ali berdeham sejenak. Dia baru saja menyelesaikan materi kultumnya dan seperti biasa, beliau akan merangkum ucapannya di menit-menit terakhir dan menuntut semua murid menjawab kalimat yang sengaja dia gantungkan. "Jadi, seorang muslimin tidak akan bisa mencium bau surga jika?"

        "Lagi pilek, Pak!"

        "HAHAHAHAHAHA."

        Derai tawa mulai membahana ketika jawaban asal Jati mengoar seperti biasanya. Pak Ali pun hanya bisa menghela berat menanggapi anak bengal namun cerdas seperti Jati. Sementara Milo di sebelahnya mendengus geli. "Goblok banget jawaban lo, Ti."

TCP [2] : "Reflection"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang