Reflection - Sembilan

5.2K 597 41
                                    

9. Sepuluh Fakta Untuk Diketahui

       "Lo tahu nggak sih, Mil? Omongan lo yang sebelum masuk tangga tuh menyindir banget. Gue jadi nggak enak nih udah bikin lo keluar kelas."

       Milo tertawa merespon dumalan Rara yang selalu membahas itu sejak 15 menit yang lalu. Setelah Milo berkata seperti itu—sungguh, ia tak ada niat untuk menyindir sedikit pun—Rara malah memukul punggungnya kencang. Tentu tidak sakit, tapi cowok itu terkejut. Rara yang selalu terlihat tentram bahkan tak pernah meladeni ledekan anak kelas terhadapnya tiba-tiba memukul Milo seperti sudah sangat akrab. Memang, sih, Milo mengakui bahwa dia dengan Rara seperti terikat oleh rantai tak kasat mata yang sampai sekarang masih belum Milo temukan penyebabnya. Tapi, Rara memukulnya? Woah, ini suatu kemajuan.

       "Gue nggak bermaksud begitu. Maksud gue, 'kan gue seneng banget belajar. Nah, demi bisa ngobrol sama lo, gue rela untuk nggak belajar. Niat gue biar bikin lo merasa berharga, eh tapi lo-nya malah salah sangka," balas Milo disusul senyum jenakanya.

       Rara memberengut. "Tapi ucapan lo terlalu ambigu, tau nggak?"

       "Okey-okey, maaf ya, Ara."

       Ara.

       "Lo manggil gue Ara."

       Cowok yang tadinya sedang asyik memandang langit biru yang membentang luas di atas mendadak menoleh ketika suara cewek di sampingnya terdengar tidak seramah tadi. Milo mengerutkan kening bingung. Rara tak menoleh sedikit pun. Cewek itu menunduk dengan kakinya yang terlipat di depan dada. Atmosfer canggung mulai menguar setelahnya. Milo diam begitu juga dengan Rara. Tak ada yang bersuara untuk jangka waktu panjang. Bibir keduanya seperti digembok dengan kunci yang rumit untuk membukanya.

       Hingga akhirnya Milo lagi-lagi memecah keheningan. "Sorry kalau lo nggak suka dipanggil Ara."

       Terdengar helaan napas berat yang keluar dari bibir Rara. Ia menoleh, menatap Milo yang juga turut memandangnya lamat. Cewek itu tersenyum samar kemudian mengangkat bahu, mencoba tak acuh. "Udah lama nggak ada yang manggil gue kayak gitu. Cuman Bi Sumi doang yang manggil gue dengan sebutan Ara. Itu nama panggilan saat gue masih kecil. Saat ...."

       Rara menggantungkan ucapannya. Ada rasa sesak yang menghambat di tenggorokan, perlahan semakin besar hingga rasanya kian sakit. Cewek itu menggigit bibirnya kuat-kuat, tak ingin melanjutkan. Ara adalah nama kecilnya. Nama yang hanya dipanggil oleh keluarganya. Nama yang bisa membuat seorang Kemara Utami tersenyum lebar ketika dipanggil dengan sebutan tersebut. Nama yang mengingatkannya dengan masa lalu.

       "Ada kala sesuatu mengingatkan lo dengan masa lalu."

       Rara yang menunduk kembali menghadapkan wajahnya menuju Milo yang memandang langit. Wajahnya datar tak ada ekspresi. Sangat sulit untuk menerka apa yang ada di pikiran cowok itu. Selama dua tahun sekelas dengannya, Rara tahu akan sesuatu.

       Milo adalah artis yang hebat.

       Ia bisa mengendalikan raut wajahnya sehingga terkadang terlihat monoton. Seperti kali ini, ketika cowok itu kembali berujar kepadanya. Milo dengan wajah datarnya menoleh ke arah Rara. "Sesuatu yang bagaikan sebuah serpihan. Serpihan yang masih lo bawa meski lo terus berjalan maju mengikuti jalur yang dibuat oleh waktu. Dan gue yakin, gue baru saja menusuk lo dengan serpihan itu. Maaf, Ra, gue nggak bermaksud."

       Raut wajah itu sedikit berubah, menyiratkan rasa bersalah. Namun dibandingkan perubahan wajah itu, Rara lebih tertarik dengan arti pandangan yang cowok itu ukir. Semua orang berkata bahwa mata tak akan pernah berbohong. Dia akan mengatakan kejujuran meski hal itu bertolak belakang dengan apa yang keluar dari mulut. Dan, Rara mengakui kebenarannya.

TCP [2] : "Reflection"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang