Reflection - Dua Puluh Delapan

2.1K 234 23
                                    

28. Milo dan Kenangannya

Sepeninggal kawan-kawannya, Milo kembali membuka album foto masa kecilnya. Dilihat lamat-lamat tampilannya semasa kecil dengan beraneka model rambut. Kadang dibuat jabrik, klimis, belah tengah, dan sebagainya. Ujung bibir Milo terangkat sedikit setelah melihat foto Sheren dan dirinya yang menangis dengan wajah belepotan krim kue. Milo menggerakkan kembali jemarinya, membuka halaman terakhir album foto.

Ada dua foto besar di sana. Satu foto dengan tampilan formal dan satu lagi foto liburan mereka di pantai. Cengiran lebar hadir di sana, berseri-seri hingga Milo merasa degup jantungnya bertalu lebih cepat. Milo menggigit bibirnya. Matanya kian panas seirama dengan lamanya Milo menatap. Keceriaan mereka hanyut dibawa kecelakaan bertahun-tahun silam. Milo meringis, ia menekan dadanya yang sesak.

"Kenapa Ibu dan Ayah pergi secepet itu sih? Hujan bahkan belum ngasih apa-apa. Ibu sama Ayah belum lihat sekeren apa Hujan pas dapet NEM tertinggi di SD dan SMP. Hujan dikasih selempang dan mahkota waktu perpisahan sebagai idola angkatan. Ibu sama Ayah belum lihat betapa kuyupnya Hujan pelantikan OSIS, belum lihat betapa kecenya anak kalian saat menjabarkan visi-misi untuk pemilihan ketua OSIS. Ibu sama Ayah belum lihat itu! Tapi, kenapa kalian pergi, Bu, Yah?!"

Milo memeluk album foto tersebut erat-erat. Ia mendekapnya di dada. Tangisannya meledak. Air mata turun membanjirinya. Milo sudah lama tak menangis seperti ini. Sejak ia melupakan semuanya. Sejak ingatannya buram dan abu-abu. Sejak ia lupa bahwa ibunya sosok malaikat pada hidupnya. Sejak saat itu Milo berhenti menangis, tapi suara itu menyiksanya. Milo sesegukan, ia meredam tangisannya di balik album foto tersebut.

Hingga suara bingkai foto jatuh menghentikan tangisannya.

Cowok bermata coklat terang itu menyernyit. Ia mendekati bingkai foto yang berada di meja belajarnya. Dia tak pernah menaruh satu bingkai foto pun di sana, tapi bingkai itu hadir. Benda itu jatuh, tidak memperlihatkan foto yang ada di sana.

Beserta satu kertas yang sudah menguning.

Milo menghapus air matanya. Ia duduk di kursi belajar dan meraih kertas tersebut. Milo yakin sekali ini merupakan salah satu gangguan dari temannya yang tak kasatmata. Bukan sekali duakali Milo diganggu seperti ini.

Namun, kali ini Milo yakin itu bukan ulah temannya.

Iris mata Milo membesar seiring ditelannya kalimat-kalimat tersebut bulat-bulat. Dadanya kembali terasa sesak, seolah ia terhimpit dua dinding besar. Berkali-kali ia menarik napas hanya untuk dapat melanjutkannya. Kertas yang menguning tersebut kini terdapat bercak basah di beberapa tempat. Jemari cowok itu mulai gemetar.

Ini bukan dari temannya, tapi ibu dan ayahnya.

***

"Sayang, kamu lagi nulis apa?"

Githa menoleh ke arah suaminya yang kini menyender di kusen pintu. Wanita itu tersenyum lebar lalu menyuruh Tengku untuk mendekat. Ditunjukannya kertas yang tengah ia tekuni. "Buat surat untuk anak-anak kita."

"Surat?" tanya Tengku bingung. "Kenapa nggak langsung diomongin aja ke Hujan dan Sheren?"

"Ada beberapa kalimat yang rasanya lebih afdol kalo ditulisin," jawab Githa lalu terkekeh. Ia masih asyik menulis. "Lagipula, ini untuk Hujan dan Sheren di masa depan."

Tengku makin bingung akan ulah istrinya. "Apa sih? Aku bingung sama kerjaan kamu, aneh-aneh aja."

Mendengar ocehan suaminya membuat Githa semakin geli. Dia melirik anak lelaki dan perempuannya yang tengah tertidur di belakang. Wajah keduanya tampak damai meski tidurnya hanya sebatas tidur siang sejenak. "Ini untuk mereka saat Hujan tepat 17 tahun."

TCP [2] : "Reflection"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang