27. Tentang Hidup
"Gue ... nggak bisa."
Milo yang berada di samping cewek tersebut menoleh saat cengkraman di jemari tangannya terasa semakin kuat. Cewek itu tak berhenti gelisah sejak masuk ke dalam mobil. Napasnya tak teratur dan cenderung kasar. Berkali-kali dia mendengus, memijat kening, lalu berdecak. Semua orang yang berada di dalam bertingkah tak ingin tahu demi privacy. Tapi, Milo, dia terseret ke dalamnya sejak mengetahui alasan mengapa Rara bertingkah tak karuan kemarin.
"Gue mau pulang aja," ucapnya lagi, lirih.
Milo menghela napas. "Terus, kalo gitu kapan selesainya?" tanyanya pelan, lebih pelan dari suara yang tercetus akibat perbincangan lainnya. Kondisi mobil bisa dibilang ramai. Dirga, Gege, Vita, dan Galih turut serta masuk ke dalam mobil Dirga.
"Nggak tau," Rara menggeleng. "yang pasti bukan sekarang, suatu saat nanti, sebelum gue mati."
"Emangnya ada yang tau kapan lo mati? Kalo lo udah mati duluan tapi belom ngomong gimana?"
Rara diam, begitu juga Milo. Cowok itu kembali menyenderkan punggungnya ke jok mobil. Omongannya memang seperti itu, butuh mental kuat jika berurusan dengannya yang dingin ini.
"Gue takut," Rara lagi-lagi angkat suara, ia sedikit mendongak ke arah Milo yang turut memandangnya. "Gue takut ketemu dia, gue ... nggak bisa."
"Semua pasti punya akhir, Ra, lo cuman harus ketemu dia biar tau akhirannya."
"Kalo akhirannya nggak sesuai harapan?"
"Ya ... setidaknya lo udah mencoba, daripada harus terus menunda dan nggak tau kepastian sama sekali perihal apa akhir yang lo dapat."
Cewek itu menghela napas panjang, mengatur napasnya kemudian mengangguk sebelum pada akhirnya melemaskan tubuh dengan menyenderkannya ke jok. Cewek itu terpejam beberapa saat lalu membuka kembali.
"Terima kasih, Hujan."
Milo menyunggingkan senyum tipis sebelum pada akhirnya mata itu terpejam lagi.
***
Rumah itu terlihat amat tua.
Pagarnya berkarat. Pekarangannya ditumbuhi alang-alang yang tinggi. Ada satu pohon besar di tengah alang-alang tersebut, menjulang tinggi memberi kerindangan. Tersemat beberapa pakaian yang dijemur di tempat seadanya.
Warna bangunan itu cokelat tua. Atap rumahnya sedikit miring akibat pengeroposan kayu oleh rayap. Satu-satunya yang mengatakan bahwa rumah ini layak huni adalah keberadaan seseorang di teras rumah, menyulam benang-benang wol dengan mata berbinar. Seolah semuanya baik-baik saja. Ia tampak amat sangat sehat dan bugar.
"Dia ... Anya."
Rara menggumam, memberikan sedikit informasi untuk Milo yang berdiri di sebelahnya. Kedua orang tersebut baru saja sampai. Baru saja ditinggalkan oleh mobil Dirga yang memilih untuk nongkrong sebentar di Sevel terdekat.
"Sekarang?" Milo bertanya yang dijawab gelengan pelan.
"Sebentar, gue butuh sedikit waktu," katanya sambil mengatur napas. Rara menarik dan mengeluarkannya dengan teratur, tangannya yang berada dalam genggaman Milo terasa semakin erat. Seolah diberikan kekuatan tak kasat mata.
"Udah?"
Rara mengangguk. "Udah. Yuk."
Keduanya berjalan mendekati pagar yang sudah berkarat. Dari luar, mereka bisa melihat semuanya yang ada di dalam. Pagar itu seperti hanya sebuah formalitas semata. Rara menyentuh lonceng yang berada di gagang pagar, menggoyangkannya perlahan hingga membuat perhatian seseorang teralih. Matanya menyipit sejenak, kemudian langsung bangkit berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...