Reflection - Sepuluh

5.6K 575 16
                                    

10. Jalan-Jalan

       Dalam hidupnya, tak pernah sekali pun seorang Sheren Latisha akan merasakan penyesalan jika memutuskan untuk pergi bersama kakaknya. Namun hari ini, ia merasakannya. Perdana. Bibir cewek itu tak henti-hentinya mencebik ketika dirinya kembali menjadi tempat penitipan barang-barang. Siapa lagi kalau bukan ulah kakaknya itu yang sekarang sedang sibuk memotret teman cewek sekelasnya. Berkali-kali Sheren menjumpai mimik sungkan yang terukir di wajah Rara. Tapi hal itu sama sekali tak membuat rasa kesalnya surut. Moodnya akan kembali bagus jika cewek itu enyah dari pandangannya.

       Semenjak Rara hadir, terjadi banyak perubahan dalam diri Milo. Tentu saja Sheren menyadarinya. Terkadang abangnya itu akan tersenyum sendiri dengan pandangan menerawang. Tapi kadang pula, abangnya akan memperlihatkan kemuraman yang kentara. Sheren menyimpulkan itu akibat Rara. Tentu saja, hanya cewek itu yang berstatus newbie dalam hidup Milo.

       "Yap! Selesai. Foto tema keindahannya udah selesai. Berarti tinggal perpaduan antara kelabu dan keindahan ya."

       Sheren yang menyenderkan tubuhnya di sebuah dinding langsung berdiri tegak. Masih dengan wajah sebal, dia membawakan seluruh tas yang ada dan menghempaskannya pelan ke sekitar Milo. Milo yang menyadari kekesalan adiknya hanya merespon dengan dengusan geli. Cowok itu mengacak-acak puncak kepala adiknya. "Ntar kita ke Dufan abis ini."

       Sheren mendadak sumringah. Matanya berbinar ceria. "Seriusan, Bang?!"

       "Ho-oh." Cowok itu mengangguk, membuat Sheren memeluk tubuh abangnya kegirangan. "Tapi bareng sama Rara," lanjut Milo. Sheren yang mendengar langsung cemberut. Dia melepaskan pelukannya lalu mendengus kesal. "Kirain berdua doang!"

       "Yaa, gue udah ngajak dia kemarin. Masa nggak jadi."

       "Tuh 'kan. Semenjak ada dia, Abang menomorduakan gue," sungutnya kemudian bersedekap kesal. Wajahnya tertekuk dengan mata yang memandang sinis Rara yang tengah merapikan barang bawaannya.

       "Bukan menomorduakan, gue udah janji kemaren. Toh, 'kan lo ikut juga," terang Milo memberi pengertian kemudian menjawil pipi tembam adik satu-satunya itu. "Nggak usah ngambek gitu, laaah. Sampai kapan pun lo tetep bakal jadi adek gue. Nggak usah cemburu-cemburu gitu, malu sama umur."

       "Ih, bukan gituuu." Sheren membantah sambil menjauhkan tangan Milo dari pipinya. Milo jika sudah bertemu dengan pipinya akan sangat susah terpisahkan sebelum Sheren berteriak ngamuk. "Lo tahu, nggak sih? Dia tuh bawa pengaruh buruk."

       "Nggak tau, tuh. Tau darimana? Informasinya emang udah terbukti nyata? Berapa persen derajat kepercayaannya? Emang itu peluang kesuksesannya berapa? Sini gue itung pake proporsi."

       Sheren merengut. "Omongan lo tuh IPA banget, deh. Nggak paham! Intinya, gue nggak mau lo deket-deket sama dia. Semenjak dia dateng, lo berubah. Dia juga yang bikin lo teringat sama suara-suara bising itu. Gue cuman nggak mau lo kenapa-napa, Bang."

       Milo menghela napas berat mendengar penuturan adiknya. Pandangan cowok itu dialihkan ke arah Rara yang sekarang tengah memerhatikan gemericik air di bawah jembatan tempat photoshot dadakan mereka. Bukan hanya Sheren yang sadar, dia juga. Milo tahu betapa seringnya dia memikirkan Rara. Ini bukan tanpa alasan. Semenjak hari di mana praduganya mulai terang, frekuensi Rara mampir di otaknya semakin bertambah. Dan parahnya, semua terasa deja vu hingga Milo harus segera menepis pikiran tersebut sebelum dia kumat lagi dan membuat adiknya khawatir. Intinya, Milo merasa dia harus membuat rantai tak kasat mata itu jadi terlihat agar semuanya jelas.

TCP [2] : "Reflection"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang