5. Milo dan Suara Di Sekitar
"Apa kabar, Anakku?"
Milo tersentak. Suara yang tak asing telah ditangkap oleh indra pendengaran miliknya. Ia dengan cepat memutar tubuh dan mulai berlari seraya mencari sang sumber suara yang terus menyuarakan pertanyaan-pertanyaan berbunyi senada. Mendadak semua terasa gelap dan sempit. Oksigen seolah mulai menipis hingga sesak di dada semakin memperburuk suasana. Cowok itu terbatuk seketika di antara pelariannya. Gelap, sempit, dan suara ramai. Tiga hal yang jika disatukan dapat mematikan dirinya perlahan-lahan.
"Mau kemana, Sayangku?"
Napas Milo mulai terasa berat dan putus-putus sekarang. Ia butuh oksigen, tapi ruangan sekitarnya terasa sempit dan terus semakin menyempit. Ia menarik napas kembali namun langsung terbatuk disertai darah yang keluar. Meski gelap, Milo dapat merasakan tangannya yang basah oleh darah dan berbau anyir. Cowok itu menggeleng tak percaya, dia terpejam dan mulai berbisik pada dirinya sendiri. "Ini semua hanya ilusi. Ini bukan kenyataan. Ini semua ilusi, Milo! Bangun!"
Belum rasa tenang melingkupi dirinya, sebuah tangan yang kini mengelus bagian pipinya mulai menambah gejolak kepanikan di dalam diri cowok itu. Matanya enggan terbuka, dia semakin terpejam. Suara-suara yang semula saling menyaut dengan pertanyaan yang sama tiba-tiba hilang begitu saja. Lenyap tanpa sisa hingga sebuah keheningan panjang berada di sekitarnya. Tubuh Milo mulai merelaks, tapi rasa elusan di wajahnya tetap terasa.
"Kenapa kamu terpejam, Sayang? Tak sudi kah kau menyapa Ibumu ini?"
Sontak tubuh cowok itu kembali bergetar. Suara tawa cekikan mulai memberondong memasuki telinga Milo, saling berdesakan untuk masuk dengan misi menghancurkan konsentrasi otaknya. Milo menggeleng cepat, mengenyahkan tangan yang mengelus pipinya sejak tadi. Namun, yang Milo rasakan seperti mengenyahkan angin. Tangan itu tidak nyata, tapi terasa begitu nyata di permukaan kulitnya.
"INI HANYA ILUSI!" teriaknya menggelegar, mengeluarkan seluruh emosi yang mengalir di dalam tubuhnya. "Ini cuman ilusi, Ibu nggak nyata," ujarnya lagi, kini diiringi tangisan pilu. Milo jatuh terduduk, matanya masih terpejam. Ia tak berani membuka matanya.
"Ah, Sayangku."
Tangan itu kembali terasa ketika mengangkat perlahan wajahnya yang menunduk. Bulu kuduk Milo meremang seketika. Kenapa kejadian seperti ini harus terjadi lagi?
"Buka matamu, Sayang. Kamu harus melihat wajah Ibumu ini. Apa kamu tak merindukanku?"
Milo menggeleng, tapi pada akhirnya dia mengangguk lemah. Dia tak kuasa menahannya. Ia merindukan ibunya dan ketika kelopak mata itu terbuka perlahan, bukanlah sosok ibunya yang dia lihat. Melainkan seorang wanita dengan wajah hancur leburnya diiringi seringaian lebar. "INI ULAHMU ANAK SIALAN!"
"BANGJAN! BANGUN!"
Kelopak mata itu pada akhirnya benar-benar terbuka. Sheren yang melihatnya langsung memeluk abangnya dan menangis saat itu juga. Tidurnya yang semula nyenyak tiba-tiba terusik ketika suara-suara menyiksakan terdengar keluar dari bibir abangnya. Mimpi itu datang lagi, pertanda bahwa sesuatu telah memicu kelemahan abangnya ini.
"Sher ... ren?"
Sheren yang terpanggil langsung mendongak, ia mengangguk. "Iya, Bang. Ini Sheren."
"Sheren ...."
Cewek itu tak bisa menahan dirinya untuk tidak semakin menangis saat ini. Abangnya yang tampak kehilangan arah membuat rasa sesak menusuk lebih dalam. Ini membuka luka lama dan memori kelam beberapa tahun lalu. Selalu seperti ini jika mimpi itu datang. Milo akan selalu membisu dengan tatapan kosong seperti hidup tanpa nyawa. Terkadang cowok itu akan menangis atau yang lebih parah, dia akan mengamuk. Namun, sekarang Sheren lebih memilih melihat satu-satunya keluarga yang ia punya mengamuk dibandingkan bergeming seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...