16. Danar
Sesuai dengan apa yang dijanjikan tadi, Milo beserta Rara langsung bergegas seusai pulang sekolah menuju tempat percetakan di ujung jalan. Mereka hendak mengambil album yang mereka desain lalu segera menuju rumah Milo untuk menempelkan 20 foto yang telah mereka pilih serta dihias seapik mungkin. Batas pengumpulan adalah tanggal 15 April, satu setengah minggu lagi waktu yang tersisa dan persiapan mereka sudah 80%.
Sesampainya di rumah Milo, keduanya langsung disambut oleh tatapan tajam Sheren. Tentu saja itu akan terjadi, Sheren sudah berada ditingkat paling tinggi dalam membenci cewek yang kini berada di samping abangnya itu. Meski Sheren harus mengakui Rara adalah orang yang baik, tetap saja cewek itu telah menyakiti abangnya tanpa sadar. Pasti cewek itu juga tak tahu dengan kondisi abangnya yang sebetulnya. Ah, memikirkan hubungan antara Milo dan Rara bisa-bisa membuat Sheren frustrasi. Lebih baik dia ke kamarnya sekarang dan berlatih soal untuk UN nanti.
Keduanya mengerjakan dengan tekun diiringi lagu-lagu Payung Teduh dari tape kecil milik Milo yang ditempatkan di atas meja belajar. Cowok itu sengaja menyalakan tapenya agar kamarnya tidak terlalu hening hingga akan terjadi kecanggungan lagi. Hal ini pun tak akan mengganggu Sheren yang notabene berada persis di depan kamarnya, lagu Payung Teduh mengalun dengan lembut. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan aktivitas tempel menempel ke-20 foto tersebut. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit yang turut diisi dengan adegan saling lirik dan berujung dengan memerahnya dua pasang pipi itu.
Salah tingkah. Ah, apa ini pertanda?
"Lo suka Payung Teduh, ya?" tanya Rara, membuka percakapan sekaligus untuk menetralisir degup jantungnya yang berdetak melebihi ritme serta rona kemerahan di pipi. Milo menggangguk sebagai jawaban, fokusnya tak berubah ke lawan bicaranya. "Lagu-lagunya adem. Lo juga suka model lagu yang kayak gini 'kan?"
"Kok lo tau?"
"Apapun yang orang katakan pasti bakal gue inget. Gue masih inget waktu lo bilang, lo suka sama tv show Criminal Minds. Terus, lo pernah ditabrak gerobak bakso juga pas kecil."
"Woah, ingatan lo emang paling terbaik, deh. Gue yakin banget lo dapet SNMPTN nanti."
"Lo juga, Ra," tambah Milo yang diaminkan Rara dengan senyumannya.
Suasana kembali diam, sangat kondusif untuk terjadi kecanggungan kalau saja Payung Teduh berhenti menyenandungkan suara. Milo sudah menyelesaikan bagiannya. Ia melirik Rara yang juga tampak sedikit lagi selesai. Setelah ini, apa yang harus dia bicarakan?
Menanyakan hal pribadi cewek itu atau tentang deja vu-nya? Jujur saja, semenjak Rara berkata seperti itu tadi, ia kembali gelisah sendiri. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi hal itu selalu saja dia urungkan. Dirinya takut jika Rara tahu bahwa dia bisa semenyeramkan itu kalau sedang kambuh, cewek itu akan ketakutan dan tak mau berteman dengannya. Bagi Milo, Rara sudah nyaris sama berharganya dengan kelima sahabatnya itu. Ada sesuatu dibalik ini semua dengan rantai tak kasat mata yang masih asyik membelenggu.
Milo ingin tahu semua yang tertutupi kabut.
"Gue penasaran," Rara angkat suara setelah menempelkan foto terakhir di dalam album. Kepalanya yang semula menunduk kini terangkat, menatap langsung iris mata coklat terang Milo. "Kenapa cowok bisa suka sama buku? Sepenglihatan gue, gue jarang nemuin spesies kayak lo ini."
Dalam jangka waktu sepersekian detik, Milo merasakan tubuhnya membeku ketika iris mata itu menangkupnya teduh. Gelenyar aneh itu datang lagi. Mata yang tak asing. Suasana yang tak asing. Ke mana semua ini akan berlabuh?
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...