4. Dia
Dia datang lagi dan Rara tak bisa melakukan hal lain selain menerimanya. Hanya ini dan sudah seharusnya seperti ini. Demi menutup luka yang kembali ditohok oleh sebuah kalimat singkat dari sang ketua kelas.
Dia telah kembali.
***
"Sher, gue nggak suka lo bicara kayak gitu ke Rara."
Sheren yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke atas sofa di ruang keluarga mendengus sebal. Baru saja mereka berdua sampai di rumah yang sepi nan hening ini, Milo selaku orang dengan status tertinggi di rumah telah mengguruinya seperti biasa.
"Dek, lihat gue," titah Milo dongkol, membuat bulu kuduk Sheren meremang seketika. Jika Milo telah mengganti panggilan namanya menjadi sebuah status keluarga, itu artinya Milo benar-benar marah sekarang.
"Apa?" tanya Sheren menciut.
"Lo nggak boleh ngomong kayak gitu. Nggak sopan. Coba kalo lo yang ada di posisi temen gue, apa yang lo lakuin kalo kayak gitu?"
"Langsung cabut, lah. Muka gue nggak tebel buat nahan malu dihina-hina," jawab Sheren asal yang membuat Milo menyentil kening adiknya cukup kencang. Sheren mengaduh sebal. "Abang kok jadi belain temennya, sih?!"
"Gue cuman mau belain orang yang bener. Kalo lo dan Rara ketemu lagi suatu saat nanti, lo harus bersikap baik sama dia karena umur lo sama dia aja udah beda. Sama yang lebih tua tuh harus sopan, nggak boleh ngomong kasar kayak tadi. Sampe kejadian lagi, jatah main DDR lo akan gue tarik sampai lo lulus SMA."
Sheren spontan melotot. Tidak bermain DDR sampai ia lulus SMP saja sudah bisa membuat dirinya merana apalagi selama itu?! Sheren dengan puppy eyesnya mengangguk, mengaku kalah jika abangnya telah membawa-bawa masalah DDR. "Iya! Sheren janji bakal jadi adek yang baik, yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa asal masih boleh main Dance Dance Revolution! Ampun, Bang, ampun!"
Milo kini mencoba menahan tawanya yang sudah siap tersembur keluar. Wajah adiknya yang memelas itu bisa menjadi hiburannya tersendiri. Masih dengan wajah tegas dibuat-buat, cowok itu mengangguk mengiyakan. "Awas aja sampai gue tahu lo bertingkah kayak gitu lagi."
"Nggak bakaaall!"
"Oke, gue akan mencoba percaya. Oh iya, gue mau ke rumah Jared dulu ya, Sher."
Alis Sheren tertaut. "Baru nyampe kok pergi lagi?"
"Mau pinjem tripod, lo tidur aja. Bentar doang kok ini," jelas Milo yang langsung kembali berjalan keluar. Tak lupa dia mengunci pintu rumah sekaligus pagar yang membentang di bagian depan rumahnya kemudian kembali menjalankan mobilnya menuju rumah Jared.
***
Perpaduan warna hitam dengan sedikit biru dongker mewarnai langit dengan begitu apik. Tak lupa ditambah kombinasi titik-titik kecil gemerlapan yang selalu bersanding dengan bulan yang berderang. Antrian para kendaraan turut menjadi pelengkap suasana malam ini karena jika tak macet, bukanlah Jakarta namanya. Masih banyak orang berlalu-lalang di bawah sinar lampu kota di pukul setengah 10 malam. Beberapa dari mereka saling bercengkrama atau sendirian di antara kumpulan manusia lainnya. Semua berbaur tanpa memandang status sosial. Terkadang pemandangan seperti ini justru berharga untuk kehidupan. Pemandangan yang mengatakan bahwa pada aslinya, semua orang memiliki keseteraan derajat karena mereka berpijak di tanah yang sama.
Milo menatap semuanya dengan perasaan tak menentu. Alam sadarnya memutarkan sedikit percikan lama yang seharusnya tak dia pikirkan kembali. Selama hidupnya, dia tak pernah berminat untuk membuka kotak pikiran berisi memori lama itu. Namun, semenjak mata cokelat terang itu menenggelamkannya bulat-bulat, Milo merasa deja vu setiap mengingatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...