Epilog

2.4K 216 6
                                    

Aku berada di puncak tertinggi.

Semalam suntuk aku mempertahankan tempatku. Aku melakukannya bukan tanpa sebab. Lagi-lagi, berita tentang anak laki-laki itu menjadi topik pembicaraan bagi kami dan tentu saja lama hilang kabarnya membuat kami kembali penasaran. Aku beruntung angkutanku langsung memberhentikanku di sini tanpa perlu pindah dua atau tiga kali.

Aku merapihkan tempatku. Berpijak dengan nyaman. Aku sudah melihatnya sejak pagi buta, dari ia memakai hoodie sampai akhirnya berganti jadi pakaian adat. Kali ini dia sudah jauh lebih besar. Kepalanya yang dibebat perban ditutupi oleh meukeutop, penutup kepala khas Aceh. Dia tampak berwibawa dibalut pakaian adatnya.

Dan, ia jauh lebih cerah dibanding terakhir kali aku melihatnya.

Di bangunan putih tulang itu.

Acara kartini dan pentas seni hari ini begitu meriah. Bahkan terik matahari yang kini sudah tak tertutup awan tak menggubris mereka bersorak-sorai ceria, termasuk aku. Puncak pohon ini begitu nyaman sehingga aku leluasa melihatnya.

"Terima kasih semuanya udah mau memeriahkan acara tahunan kita hari ini. Maaf banget kalo ada yang masih belum sempurna karena yaa ... seperti kita tahu ada beberapa sebab yang mengganggu. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya telah membantu kesuksesan acara tahunan kita ini. Kalian memang yang terbaik, udah mau dandan sejak subuh untuk tampil pagi ini. Terlebih lagi," anak laki-laki itu tersenyum lebar, begitu bersinar hingga aku yang dipuncak bisa melihat. "ada satu anak yang nggak saya sangka-sangka justru jadi perwakilan kelas. Spektakuler."

Anak laki-laki itu tertawa hingga gigi taringnya tampak, sementara anak perempuan yang dimaksud melotot sebal dengan wajah merah padam.

Setelah satu-dua kalimat, ia menyerahkan acara pada kawan cepaknya yang memegang gitar. Laki-laki itu menyanyikan lagu yang langsung membuat kerumunan terpekik heboh. Namun, bagi kami spotlightnya bukan dia sekarang.

Anak laki-laki berbaju adat Aceh itu menghampiri si perempuan.

Senyumannya tampak cerah, menghangatkan siapapun yang melihat. Aku tidak mengada-ada, aku bersumpah bahkan kami turut merasakannya. Dia berketerbalikan dengan apa yang kami lihat tempo waktu. Jauh. Teramat jauh hingga pada awalnya kami tidak mengenalinya.

"Hai."

Si perempuan menunduk, menyembunyikan wajah merahnya dibalik untaian rambut yang sudah ia urai. Jujur saja, perempuan itu tampak manis sekali. Aura cantiknya menguar seirama dia berdiri di panggung dengan pakaian khas R.A. Kartini. Dia seperti jelmaan Ibu kita. Titisan. Keturunan. Apapun itu. Dia sanggup menghipnotis semua orang dengan pidato singkatnya tentang wanita. Ada beberapa kalimat yang kuingat, begini katanya: "Kami, wanita, bukan manusia lemah. Kami, wanita, adalah kaum kuat dan tangguh yang dibalut dengan kelembutan. Kami, sejatinya, bisa melakukan semua hal dengan baik. Kami tidak layak diremehi hanya karena kami wanita. Kami tidak layak dilecehkan hanya karena kami berperilaku manis. Kami tidak layak dituntut tampil cantik untuk memuaskan napsu. Kami layak dituntut untuk kepercayaan diri, untuk bisa berdiri tanpa goyah, untuk bisa menantang dunia, seperti kalian para laki-laki."

"Spektakuler."

Perempuan itu mengintip dari balik rambutnya, dia memukul pelan lengan si laki-laki. Sang laki-laki terbahak, mengelus puncak kepala si perempuan dan meletakkan untaian rambut tersebut di belakang telinga. Kini mata mereka saling tatap dan mengikat.

"Ara," panggilnya dalam.

Perempuan yang ditatap itu mengangguk samar.

"Lo luar biasa."

Dia tersenyum manis.

Keduanya tersenyum manis

"Oleh karena itu," dia menggantung kalimatnya untuk sejenak. Kami bisa merasa degup jantung keduanya bertalu tak karuan. "Jadilah kartini untuk gue, ya?"

Ada gelembung pelindung yang melingkupi mereka dari atmosfer luar. Siapapun yang melihat akan tahu bahwa mereka berlayar mengikuti suasana yang mengalir. Nada lagu yang mendayu bagai ombak yang menuntun keduanya makin hanyut. Tatapan keduanya yang sarat kehangatan bagai angin laut yang mendorong keduanya makin jauh.

Si perempuan menemukan kembali degup jantungnya saat ia berhasil berkedip. Ia tersenyum hingga ke mata, mengembalikan anak laki-laki ke daratan tempat berpijak. Perempuan itu merogoh saku jaketnya, ia membuka telapak tangan kanan sang laki-laki lalu mengepalkannya sebelum ia berlalu tanpa suara.

Anak laki-laki itu memandang kepergian tanpa memanggil. Ia bahkan tersenyum simpul. Dia mengalihkan pandangannya ke kepalan tangan kanan.

Ia membuka kepalannya.

Senyumannya merekah.

Ada gelang tali dengan bandul matahari di sana.



S E L E S A I

TCP [2] : "Reflection"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang