25. Ketinggian Dilatari Senja
Angin berhembus, memainkan rambut panjangnya yang terurai.
Sudah cukup lama dia berada di sini. Sejak jam setengah empat sore. Langit sudah sedikit menorehkan warna biru di bagian atas. Matahari masih belum tenggelam dimakan pencakar langit. Masih ada setengah bagian yang menyembul, seperti memberikan pesan perpisahan.
Entah berapa lama dia tak belajar. Entah berapa lama dia tak bersosialisasi. Yang dia lakukan hanya berdiam diri di kamar, mengtidakacuhkan semuanya. Memblokir seluruh jalur untuk berkomunikasi. Termasuk meminta penjaganya untuk tak datang ke rumah sampai dia menelepon.
Segalanya begitu rumit. Terlalu kusut untuk diurai. Terlalu runyam untuk dipikirkan. Semuanya amat abu-abu.
Ia menghela napas, untuk kesekian kalinya. Di tempat yang sama, ia terduduk. Kakinya terlipat di depan dada, dikalungi oleh kedua lengannya. Seharusnya ia pulang sekarang. Meninggalkan semuanya. Atau, mungkin seharusnya ia akhiri saja. Menghentikan waktu yang berlari begitu cepat.
Karena ia tak sanggup untuk menyamai langkah.
Karena ia tak sanggup hanya untuk berjalan satu langkah kecil pun.
Dirinya terlalu lelah.
Semua yang datang, pergi begitu saja. Meninggalkannya sendirian.
Lagi-lagi, ia menghela napas. Dia akhirnya bangun dari duduknya, berdiri tegak mendekati dinding perbatasan. Menengok ke bawah, menikmati suasana sepi yang terbangun begitu saja.
"Ara!!"
Dia mengerjap. Suara ini ... memanggil nama kecilnya.
Ia menoleh, menatap terkejut sosok cowok dengan tongkat penyanggah di dua sisi tubuhnya. Hatinya tetiba seperti dipukul palu godam, hingga terlempar bermil-mil jauhnya lalu tertusuk ranting pohon tertajam, menembus tubuh.
Orang yang justru paling dia sakiti malah mendatanginya di saat dia membutuhkan teman.
"Lo ... inget?"
Milo mengangguk. Ia melangkah dengan cepat meski tertatih-tatih dalam sanggahan tongkat. Rara turut mendekat. Keduanya bergerak dalam waktu yang sama, dalam kecepatan yang berbeda. Lalu terhenti.
Dalam satu dekapan.
Satu tetes air mata mengalir dari pelupuk iris coklatnya. Tubuhnya sakit dan senang di satu waktu. Ia mulai terisak, menangis di dada cowok yang memeluknya.
"Lo inget ...."
"Iya, gue inget." Milo kian mengeratkan pelukannya, mengikis jarak yang tersisa. Dia meluapkan rasa bersalah dalam pelukan itu. Semua terasa amat tak asing. Seluruhnya tampak seperti sudah seharusnya.
"Gi-gimana caranya lo inget?" Rara bertanya seiringan dengan terurainya pelukan itu. Hati Rara mencelos bahagia, seperti diterbangi kupu-kupu. Meski di sisi lainnya amat pilu melihat Milo yang tertatih ke arahnya.
"Kalung ini," Milo merogoh saku jaketnya lalu menaruh benda tersebut di telapak tangan Rara. "seperti yang gue bilang, dia akan mengingatkan gue."
Rara terpekur menatap kalung tersebut. Digigitnya bibir bagian bawah, meredam emosinya yang memuncak. Kepalanya tertunduk, dirinya perlahan jatuh terduduk. Untaian rambutnya menutupi wajah, menutupi air matanya yang kembali mengalir.
"Milo ...," panggilnya, membuat Milo dengan perlahan ikut terduduk di bawah. Cowok itu menyelipkan untaian rambut Rara yang menghalangi ke belakang telinga dengan lembut. "Iya?" katanya.
Rara terisak. "Gue tau, selama ini lo berusaha ngelupain masa lalu. Kita sama-sama ngelupain masa lalu, berusaha nggak diikutin bayang-bayangnya. Tapi, sebenernya kita salah. Seharusnya nggak kayak gini. Lo dan gue punya sesuatu yang terhapus juga, teredam karena luka lama. Lalu, kita bertemu, namun saling menusuk luka. Obatnya adalah seluruh deja vu ini, yang akhinya ngingetin kita lagi kalo kita pernah bersama."
Cewek itu mengangkat kepalanya, menatap langsung iris kecoklatan di depannya dengan sendu. Jemarinya meremas jaket milik cowok di hadapannya. "Tolong, jangan lupain gue lagi karena lo adalah Danar bagi gue!"
Milo menggigit bibir dalamnya, meredam emosi. Semuanya begitu memilukan. Ia kembali menarik cewek itu ke dalam pelukannya, mencegah dia melihatnya menurunkan air mata.
Cowok itu turut menangis, luka lamanya terbuka, tapi dalam satu waktu seperti disembuhkan kembali. Sahabat kecilnya datang. Satu-satunya orang yang mengerti. Satu-satunya orang yang tahu tentang dia.
"Jangan pergi lagi, Ara."
Dipanggil seperti itu, Rara merasakan hatinya tersentuh kehangatan. Suhu tubuhnya naik, pipinya merona merah akibat kebahagiaan yang berada di puncak.
"Never in million years, Hujan."
Dan, tingkat kesempurnaan hidup keduanya ... naik perlahan, sedikit demi sedikit.
Persatuan dari rasa sakit, tak selamanya akan membuat sakit terasa dua kali lipat. Tapi, justru bisa menyembuhkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...