14. Lupa Berbuntut Panjang
Perubahan lagi-lagi kembali terjadi esok harinya. Milo sudah kembali berbicara, tapi Rara justru kembali ke mode pendiamnya. Citra dirundung rasa kebingungan. Saat ia menanyakannya pada Rara, cewek itu berujar bahwa kemarin dia sedang ingin menjadi sosok yang berbeda. Rara telah diceritakan apa saja yang dilakukan oleh Jane dari Milo. Ia amat lega menyadari bahwa dia tak terkena kasus sama sekali seperti yang lalu-lalu.
Dibo yang penasaran—tempat duduk mereka masih bersebelahan—akhirnya bertanya di sela-sela aktivitas mengerjakan soal matematika. "Lo sama Rara ada something-something, yaa?"
Milo yang semula memandang lurus buku tulisnya langsung menoleh ke arah Dibo yang menatapnya penasaran. "Nggak, tuh."
"Kok bisa serasi gitu?"
Dahi Milo mengerut tak paham. "Serasi gimana?"
"Yaa ... kemarin lo pendiem, Rara bawel. Sekarang, lo bawel, Rara pendiem."
Milo mendelik malas. "Itu kebalikan, Bodoh."
"Eh ..." Dibo mengerutkan kening, berpikir. "Iya, juga, sih. Ya ... pokoknya begitu, dah! Saling berketerkaitan. Ada something 'kaaan?"
"Kepo banget sih lo, Dib, kayak wartawan."
"Sekali-kali, Mil, ngepoin lo. Jarang, nih, seorang Dibo kepo."
Cowok dengan iris kecoklatannya mencibir. "Nggak ada, Dibo. Mending lo cepet selesain itu soal deh, telat dikit ngumpulinnya nggak dikasih nilai."
"Mager gue, Mil. Lelah, belajar mulu," sahut Dibo lalu menaruh pensilnya di atas bibir. Hal yang selalu cowok itu lakukan ketika sedang mumet dengan pelajaran.
Milo selaku cowok pemegang ranking tertinggi dan yang paling tak gentar menyemangati pun menepuk pundak Dibo prihatin. Wajahnya diubah sedemikian rupa seperti Pak Ali saat sedang kultum. "Belajar emang capek, tapi itu sebanding dengan perasaan yang didapat ketika lo mengerti sesuatu."
"Ya, ya, ya. Ini gue kerjain," sungut Dibo, malas mendengar Milo dalam mode ceramah ini. Milo pun menepuk punggung teman sebangkunya pelan. "Yang rajin ya, Bos!" katanya ceria, sementara Dibo hanya merespon dengan cibiran.
***
Seperti yang direncanakan kemarin saat di rumah Rara, sehabis pulang sekolah mereka berdua akan langsung menuju Galeri Nasional atau biasa disingkat GALNAS di bilangan Jakarta Pusat. Masih ada sesi foto yang belum rampung, yaitu bagian perpaduan antara kekelabuan dan keindahan. Sebagai tempat photoshoot dadakan mereka, Milo memilih GALNAS. Selain murah karena tak ada tiket masuk, galeri ini buka sampai pukul tujuh malam.
Setelah memarkir dengan benar, keduanya pun segera masuk ke dalam. Banyak sekali objek yang bisa dijadikan teman bagi Rara untuk dipotret. Rara pun sudah tak secanggung saat pertama kali difoto. Ia sudah lebih relaks, terlebih lagi mereka sudah benar-benar berteman. Masih hangat diingatan bagaimana ucapan Milo yang akan melindunginya. Saat kalimat itu keluar, rasanya tubuh Rara dipenuhi kupu-kupu. Ada sensasi menggelitik yang lembut. Ah, memikirkan ini membuat rona kemerahan di pipinya kembali muncul.
"Kok lo pipinya merah, Ra? Demam, ya?"
Rara membulatkan matanya besar. Dia ketahuan!
Cowok itu memasang raut wajah sudah-gue-bilang miliknya sambil memasukkan ponselnya yang tadi ia ke luarkan ke dalam kantung celana. "Tuh, 'kan. Hujan emang indah tapi bisa bikin sakit kalo kelamaan kena. Pulang aja, yuk? Udah jam enam. Lagian kita udah dapet banyak foto juga," sambung Milo tanpa memberikan jeda bagi Rara untuk menjelaskan bahwa dirinya tak sakit. Ia pun langsung mengajak Rara kembali ke mobil untuk diantar pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...