17. Rutinitas
"Milski! Pulang bareng, doong!"
Milo yang masih berada di tempat duduknya, baru saja ingin menggunakan tas punggungnya dan bergegas pulang, kini menoleh ke arah pintu kelas yang terbuka lebar. Di sana tersembul kepala dan setengah tubuh Galih. Cowok itu menampilkan raut memohonnya kembali. "Boleh, 'kan?"
"Motor lo mana, Bos?" balas Milo sembari menghampiri sahabatnya itu.
"Di bengkel lagi. Kemaren abis anterin Lia pulang, eh, tau-taunya ada paku di jalan. Terpaksa gue nggak pake dulu motornya."
"Ya elah, kenapa nggak ditambel?"
"Ketauannya pas gue udah nyampe rumah. Ntar supir gue mau bawa ke bengkel. Boleh ya, Mils? Boleh?"
"Ya ... mau gimana lagi? Tapi, ada Rara. Gue mau ke rumah dia, jadi lo duduk di belakang."
Mendengar nama Rara membuat tatapan memohon Galih berubah menjadi gerlingan iseng. Cowok itu tersenyum menggoda. "Aw, aw, aw. Makin deket aja nih. Awas, ntar ada yang patah hati."
Milo mendengus. "Kan udah gue bilang Thessa gue anggep adek doang. Adek kelas sih tepatnya."
"Lo itu jahat banget, asli dah." Galih geleng-geleng kepala sambil bersedekap.
"Ini jadi pulang, nggak?"
"Jadiiii! Rara mana? Ini nggak apa-apa 'kan ke rumah gue dulu?"
"Di parkiran, dia sama Citra tadi duluan ke depan. Nggak apa-apa, sih, searah juga."
Galih ber-ohh ria lalu mulai mengikuti Milo yang berjalan keluar kelas. Sepanjang perjalanan menuju lapangan parkir, Galih tak hentinya berceloteh tentang perjalanannya kemarin dengan Lia. Bagi mereka berlima, Milo juga sudah menjadi sarana pendengar yang baik. Cowok beriris coklat terang itu akan selalu memberikan advice setelah sesi curhat diselesaikan. Alhasil, bisa dibilang dia menyimpan semua rahasia teman-temannya itu.
Tapi, kelima sahabatnya sama sekali tak menyimpan rahasia Milo.
"Terus, nih, ya, pas kita berdua ngelewatin orang gila pinggir jalan, orang gilanya langsung buka celana, Mil! Si Lia teriak heboh banget, hahaha! Terus, terus—eh, itu ada Rara deket mobil."
"Kan tadi udah gue bilang dia nunggu di situ," sahut Milo cuek. Galih manggut-manggut, dia kembali melanjutkan ocehannya dan baru berhenti ketika mereka berdua benar-benar berada tepat di depan Rara.
Galih yang terkenal dengan kesupelan berlebihnya tersenyum menyapa. "Halo, Ra!"
"Eh, hai ...," balas Rara canggung. Dia tak begitu kenal dengan Galih, hanya tahu sekilas.
"Lo tau gue 'kan? Galih yang ganteng itu, loooh," lanjut Galih kepedean yang langsung disikut kencang oleh Milo. "Lo aneh-aneh kayak gitu nggak gue kasih tumpangan nih," ancamnya, membuat Galih nyengir lebar tak berdosa lalu langsung masuk ke jok belakang sedetik setelah Milo menekan tombol berlambang gembok terbuka di kunci mobilnya. Milo geleng-geleng kepala sementara Rara tersenyum geli menatap aksi sahabat cowok di sampingnya.
Belum selesai sampai di sana, Galih kembali berceletuk ria tentang perjalanannya kemarin sejak Milo masuk ke mobil. Cowok itu menceritakan panjang lebar kejadian setelahnya, membuat Rara tertawa pelan ketika bagian lucu terbuat lagi. Rara tak habis pikir ada cowok yang sebawel ini. Sepanjang 17 tahun dia bernapas, baru kali ini Rara menemukan cowok yang tingkat bawelnya melebihi Citra ketika curhat tentang gebetannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...