20. Perasaan Setelahnya
Genangan air itu menjadi layar. Bulir air hujan itu menjadi penonton. Dan, langit menjadi saksi bisu. Bagaimana perempuan itu berlari dalam iringan air hujan. Bagaimana perempuan itu terjatuh akibat tersandung kemudian bangkit lagi untuk berlari. Bagaimana sakitnya hati milik perempuan itu. Bagaimana air matanya terhapus begitu saja, dikamuflase hujan.
Angin menemaninya. Suara bersisian dengannya. Dan, sakit hati menjadi penopangnya. Ia berlari, terus, menembus hujan yang terus semakin deras dalam balutan seragamnya.
Dingin. Dia amat kedinginan. Giginya bergemeletuk.
Sakit hati yang Milo timbulkan tak hanya menusuknya, tapi juga menebasnya hingga terbelah menjadi dua. Lalu ditebas lagi menjadi empat, terus, dan terus, hingga menjadi partikel-partikel kecil sebesar debu yang mampu ditiup angin. Lalu, hilang, tak berbekas.
Rara meringis di antara tangisannya. Ia tak menduga sesakit ini. Dikhianati. Dijebak oleh adik dari orang yang ia percayai. Dunia terlalu kejam dan besar untuk tubuh kecilnya. Nasib buruk terlalu nyaman bermukim di kediamannya.
Mungkin, sejak dulu, video yang dia maksud tak pernah ada. Mungkin, itu semua hanya khayalan yang dibuat akibat kesepiannya. Mungkin, memang sejak awal semuanya itu hanya sebatas kesemuan belaka.
Kaki-kaki lemasnya terus bergerak, mencoba membunuh waktu yang mengejarnya. Gerakannya tanpa tujuan, tapi dia berhasil mencapai rumahnya entah bagaimana caranya. Ia meluruh di depan rumah, jatuh terduduk, dan kemudian kembali menangis.
Menangis untuk kesialannya.
Menangis untuk nasibnya.
Menangis untuk kehidupannya yang pelik.
Menangis untuk kesakitan hatinya. Dikhianati akan kebaikan yang dia tuai.
Rara mendongak ke atas, menatap langit muram yang menggantung di atasnya.
Untuk pertama kalinya, ia membenci hujan datang saat ini.
***
Bumi kembali cerah setelah tangisannya mereda.
Genangan air berada di mana-mana, memberikan refleksi objek di atasnya. Para makhluk hidup yang semula pergi berlindung telah kembali melakukan aktivitasnya. Mereka pergi ke luar, menarik napas dalam-dalam untuk mengecap aroma pasca hujan.
Tanaman yang semula terlihat kering mulai melembab. Memperlihatkan pesonanya yang dipercantik oleh bulir air di beberapa sisi. Awan cerah telah kembali datang bergerombol, memamerkan diri di tengah langit oranye tanpa ujung.
Begitu asri.
Begitu damai.
Begitu dirindukan.
Seorang perempuan duduk termenung di teras depan rumahnya. Menatap kosong lurus-lurus. Tubuhnya dingin. Pakaiannya basah. Kulitnya pucat. Tangannya memeluk diri sendiri dengan kaki yang terlipat di depan dada.
Ia mengerjap satu kali, tersadar akan lamunannya kemudian menyeludupkan kepalanya di antara lipatan tangan. Pundaknya bergetar, bergerak naik turun seirama dengan isakan yang ke luar.
Hatinya sakit. Pecah berkeping-keping. Dihunus berkali-kali. Kemudian ditinggalkan, tidak dipedulikan. Dibiarkan tersesat dalam kesedihan. Amat pilu. Hatinya berteriak, meminta tolong, meminta petunjuk, tapi tak ada yang bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [2] : "Reflection"
Teen FictionMasa SMA Milo awalnya seperti yang dia rencanakan. Datang pagi, menegur Citra dan Jati yang akan selalu meramaikan kelas dengan debat tak mutu, duduk di kursi kedua dari depan, belajar dengan giat, menuruti segala perintah guru, berkumpul dengan lim...