2. NEW MOON

301 30 17
                                    

"Malam ini gue mau ke rumah Seren, biasalah apel harian." ujar Henry yang tengah menyetir mobil Gavyn.

"Anjir, nggak nyerah-nyerah lo buat dapetin, Seren? Tahan amat tuh hati lo, hahaha ..." Davin yang duduk di belakang bersama Faiz tertawa keras.

"Tandanya, Henry, tuh serius sama satu cewek nggak kayak lo yang gebetannya dimana-mana." cibir Faiz ikut menimpali.

Davin langsung melengos, "Kagak ye, cewek gue cuman satu doang."

"Caramelia, ya kan?" tebak Henry dengan cepat.

"Tau aja lu tong! Gila, dia susah banget buat di taklukin,"

"Namanya aja cewek, ya pasti awalnya suka jual mahal dulu lah. Ntar lama-lama juga luluh sendiri, ya nggak, Vyn?" Henry menoleh ke arah Gavyn yang duduk di sampingnya. Cowok itu sedari tadi hanya diam melempar pandangannya ke luar jendela, memikirkan sesuatu.

Davin dan Henry saling melempar tatapan bingung, tidak mengerti dengan perubahan sikap Gavyn sejak melihat seorang gadis yang berhasil mengubah pikiran Laras untuk bunuh diri, ia lebih memilih untuk diam sepanjang perjalan pulang ke rumahnya. Bahkan dari tadi mereka sibuk berbincang, namun Gavyn hanya diam tidak berniat untuk nimbrung sama sekali.

Tangan Davin bergerak menepuk pelan pundak Gavyn. "Vyn? Lo sakit?" tanyanya hati-hati.

"Kalian kenal cewek itu nggak?"

Kebisuaan Gavyn terpecahkan dengan sebuah pertanyaan aneh yang keluar dari bibirnya. Rupanya sedari tadi, ia hanya bingung memikirkan gadis yang sudah menjadi penolong korban bullyannya.

"Arabella? Lo nggak kenal dia?" jawab Henry. "Kalo nggak salah, bukannya dia temennya si Caramelia, Vin?"

Davin mengangguk antusias, "Hooh. Mereka lengket banget kek permen karet tau nggak. Kemana-mana selalu barengan mulu,"

"Kenapa? Emang apa yang lo pikirin sekarang?" Kini ganti Faiz yang bertanya.

Gavyn menoleh ke bangku belakang tempat Faiz dan Davin duduk, ia menyeringai sebentar sebelum mengucapkan kata-kata yang akan membuat semuanya terbelak kaget.

"Gue rasa, gue tau siapa target gue setelah ini."

"Whats?!" reflek Henry dan Davin memekik bersamaan, sementara Faiz memilih membuang pandangannya ke luar jendela. Entah mengapa batinnya sangat menolak niat Gavyn ini.

'Sebentar lagi, lo bakalan tau pelajaran apa yang akan lo dapet karena udah berhasil bikin korban gue kabur!'

***

Ara terperanjat kaget saat melihat Saga masuk ke dalam kamarnya dengan penampilan yang sangat acak-acakan. Rambutnya berantakan, seragamnya lusuh tidak seperti tadi pagi saat berangkat sekolah bersama, matanya juga memerah seperti habis menangis.

Sontak Ara langsung bangun dari posisi tidur dan mengakhiri aktivitasnya membaca novel. "Kamu kenapa sih? Dateng-dateng kok kayak anak ilang gini?"

Bukannya menjawab pertanyaan Ara, Saga justru berjalan mendekat ke Ara dan langsung memeluk gadis itu dengan erat. "Saga sakit hati!" ucapnya tepat saat air matanya kembali turun.

"Cerita sini, jangan nangis kayak anak SD deh!" Ara memukul tubuh tinggi Saga. "Nggak bisa nafas ini!"

"Nggak mau!"

Ara menghela nafas lelah. Selalu saja seperti ini, memangnya dia itu boneka yang bisa dipeluk seenaknya. Batinnya memang selalu kesal jika Saga datang tiba-tiba dan memeluknya, namun sayangnya ia tidak bisa menghindari kebiasaan Saga yang seperti itu.

"Mentang-mentang tinggi aja, suka banget emergency hug!" cibir Ara. "Lepasin nggak!"

Akhirnya setelah beberapa detik, Saga melepas pelukannya pada tubuh Ara. "Jalan yuk! Badmood nih abis putus cinta,"

"Putus lagi?!" pekik Ara. "Mau berapa kali sih gonta-ganti pacar mulu?"

"Dia bilang aku kayak anak kecil, makanya dia putusin aku."

Ara melangkah mundur, berusaha memberi sekat pada Saga. "Ya makanya, udah tau hampir dewasa tapi sikap kamu masih kayak anak TK. Dikit-dikit ngambek, dikit-dikit over, gimana dia bisa betah sama kamu?" Dengan membuka lemari pakaiannya, Ara mengeluarkan sebuah dress berwarna biru dan melemparkannya di atas ranjang. "Pacaran tuh yang simple aja, saling ngertiin dan pas di hati. Nggak kayak kamu tuh, bentar-bentar udah main putus aja jadian juga baru minggu kemarin."

Saga mengulum bibirnya dan kembali mendekat kepada Ara. "Abis mereka tuh suka centil sama cowok lain, gimana aku nggak over?"

"Udah tau centil, tapi tetep aja dipacarin. Kalo udah gini siapa yang salah?"

"Kamu belaiin siapa sih? Aku atau dia?" Saga merajuk, wajahnya di tekuk seperti jemuran yang belum kering. "Semua cewek itu sama aja!"

"Emang, cowok nggak sama aja? Mereka itu suka egois, mikir kebahagiaan mereka sendiri. Nih, contohnya ada di depan aku."

"Cowok itu pacaran pakek logika,"

Ara menoleh, "Dan cewek itu pacaran pakek hati. Semua yang dia rasain tuh tulus nggak cuman main-main."

"Pinter banget ngomongnya, emang situ udah pernah pacaran? Di deketin cowok aja udah ngibrit lari ke belakang badan aku," ejek Saga. Lidahnya terjulur untuk membuat emosi Ara naik.

Dengan kesal Ara melempar satu bantalnya ke arah Saga, matanya yang coklat melotot penuh amarah. "Cinta pertama nggak pernah mudah tau!" teriaknya.

"Hahaha ... sok ngerti cinta, padahal praktek pacaran aja belum pernah. Berhenti baca novel-novel fiksi kayak gitu, sampai kapan pun mereka tuh nggak bakalan jadi nyata," tanpa rasa bersalah, kaki panjang Saga malah melangkah keluar dari kamar Ara. "Udah ah, pokoknya nanti malem temenin aku jalan. Dah, sayang!"

"Dasar nyebelin!"

***

Di sebuah mall, Ara berjalan dengan Saga yang menggenggam tangan kanannya, takut gadis itu akan hilang di keramaian seperti dulu. Meskipun Ara itu sudah berumur enam belas tahun, tetapi dia masih suka nyasar jika berkunjung ke tempat-tempat lain. Ingatannya tentang jalan memang sedikit rendah, maka dari itu Caramelia dan Saga akan khawatir sekali jika gadis mungil itu memilih untuk pulang sendiri. Alasannya hanya satu, kalau Ara sudah nyasar pasti susah banget nemuinnya.

"Mau kemana sih? Dari tadi kok cuman muter-muter terus?" tanya Ara sembari melihat-lihat sudut mall yang lumayan ramai pengunjung.

"Aku juga nggak tau, cuman rasanya pengen jalan aja."

"Ih, aku laper tau belom makan dari tadi habis pulang sekolah! Makan kek, kan bisa."

Saga berdecak, "Ck, Mama tadi juga masak tapi kenapa belum makan?" lantas tanpa banyak bicara lagi, akhirnya Saga membawa Ara memasuki sebuah restoran yang tidak terlalu ramai pengunjung. "Makan, terus kita nonton aja." Titahnya.

Ara hanya mengangguk patuh, sekarang ia tidak bisa lagi membantah Saga karena perutnya benar-benar sudah keroncongan.

Dari jauh sepasang mata tengah mengamati gerak gerik Ara dari jauh. Seringai jahatnya terlihat saat sebuah ide melintas dalam otaknya.

'Sekarang puas-puasin bahagia lo, karena sebentar lagi hanya ada penderitaan di hidup lo!'

***

Arabella Lyly Damara

Arabella Lyly Damara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Heart Want'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang