16. NIGHT CHANGES

140 11 0
                                    

Sebuah mobil sport melaju dengan kencang membelah kesunyiaan Ibu Kota Jakarta. Mengabaikan gedung-gedung tinggi yang ia lewati, membiarkan beberapa orang-orang pengguna jalan mengumpati dan menyumpah serapahi dirinya. Semuanya ia abaikan. Gavyn tidak peduli.

Gavyn marah
Gavyn kecewa
Gavyn lelah
Gavyn tidak tahu arah

Dirinya terlalu larut dalam kemarahan. Terlalu sakit merasakan hatinya yang terasa sangat nyeri. Dari dulu sampai sekarang Gavyn tetaplah Gavyn yang rapuh. Gavyn yang tidak punya siapa-siapa untuk menceritakan seluruh lukanya. Gavyn yang hanya bisa diam ketika satu persatu kenyataan membuatnya terpaksa menutup hatinya yang sudah tergores.

Sudah cukup kehilangan Rosa, kini luka itu bertambah lebar ketika Selina juga memilih pergi meninggalkannya. Gavyn benci kenyataan itu.

Jika saja waktu bisa diulang, ia akan membuat Selina terus berada disisinya, menemaninya setiap kali ia membutuhan rengkuhan hangat, menghangatkan telapak tangannya ketika ia mulai merasa kedinginan, membuatnya tersenyum kala ia mulai merasa kepedihan. Gavyn ingin Selina seperti itu, hanya saja jarak dan takdir seolah mempermainkan perasaannya. Merombak semua keinginannya dan merubahnya menjadi sebuah harapan semu saja. Perih.

Kilatan kaca terukir jelas dalam manik mata Gavyn. Semua kekecewaan, kemarahan, seolah melebur menjadi satu perasaan yang amat sulit untuk dijelaskan. Sepanjang jalan itu, Gavyn hanya asal menancap gasnya tanpa tahu kemana arah yang akan ia tuju. Tanpa tahu kemana kemarahannya akan membawanya pergi. Gavyn tidak tahu.

"Papa akan jual rumah ini kalau kamu tetep nggak mau pindah ke Prancis!"

Kalimat itu kembali terngiang dalam ingatannya. Dengan mudah Martin mengucapkan hal itu tanpa tahu bagaimana hancurnya perasaan Gavyn saat kalimat itu meluncur bebas begitu saja. Martin tidak tahu penderitaan macam apa yang selama ini Gavyn lewati, Martin tidak pernah tau.

Rumah itu adalah satu-satunya kenangan yang Gavyn punya. Kenangan dimana dulu ia juga pernah merasakan yang namanya bahagia. Karena itulah, Gavyn tidak akan pernah rela pergi meninggalkan rumahnya itu. Ia hanya tidak ingin tempat kebahagiaannya dulu harus dijual dan menghapus kenangan itu begitu saja.

"Argh!" Gavyn berteriak dengan satu tangannya mengacak-acak rambutnya frustasi.

Frustasi tentang perasaannya yang sudah campur aduk.

Sekuat tenaga Gavyn menahan air matanya agar tidak jatuh, tetapi ia tetaplah manusia yang memiliki hati dan nurani. Benteng pertahanannya juga bisa runtuh, dalam gelap malam itu Gavyn menangis. Meraung-raung, memaki-maki takdir hidupnya sendiri, berharap sedikit kelegaan dalam hidupnya yang sudah terasa sangat menyakitkan.

Apa pun itu lukanya, bagaimana luka itu dibuat, tetap saja yang namanya luka tidak bisa sembuh begitu saja. Apalagi luka yang tidak bisa dilihat seperti itu. Butuh banyak waktu untuk kembali membuatnya pulih. Jika berhasil pulih pun, bekasnya juga tidak bisa hilang begitu saja. Sejatinya hati itu tidak bisa benar-benar pulih, hanya saja luka-luka itu saling menutup bagian lain yang dulu sempat terluka hingga membuatnya akan terasa perih oleh luka-luka baru.

Kalau ada luka lebih besar menutupinya, kau tidak bisa melihat luka lama itu.

Tetapi Gavyn tidak bisa lupa, dan tidak akan pernah bisa melupakan semua itu. Kehilangan orang yang disayang itu bukanlah perkara yang mudah. Meskipun sudah berusaha untuk menghentikannya, yang akan pergi tetap juga akan pergi di waktu berikutnya. Seperti itulah hidup, ada datang dan ada juga yang pergi. Semuanya akan terus berputar dan kembali pada tempatnya.

Cukup lama ia berkendara, tiba-tiba Gavyn menghentikan mobilnya di depan rumah yang cukup besar. Ia tidak tahu mengapa dari banyaknya tempat di dunia ini, kenapa pemberhentiannya harus disini. Di rumah Ara.

Heart Want'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang