"Ra, will you be my princess?"
Akhirnya, Gavyn pun mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang entah mengapa tiba-tiba terlintas begitu saja dalam benaknya. Ia sudah tidak mampu lagi berfikir hal apa pun kecuali tentang Ara.
"Iya, Vyn."
Ara menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus berbuat apa. Ia akui jantungnya juga bergetar saat bersama Gavyn, tetapi ia merasa tidak cukup siap untuk menjatuhkan cinta pertamanya.
"I'm sorry, but i can't, Gavyn."
Genggaman pada tangan Ara mulai mengendor hingga akhirnya benar-benar terlepas. "But, why? Tell me now!"
"I-ini t-terlalu cepat, dan mungkin kamu cuman main-main sama aku. Enggak, aku enggak bisa." Ara mundur beberapa langkah dengan air mata yang mulai menetes membasahi pipinya. "I need time!"
Gavyn tidak bisa percaya dengan jawaban Ara. Gadis itu menolaknya? Setelah hari-hari yang mereka lewati, benarkah Ara menolaknya?
"Ra, gue beneran serius sama lo. Plis, kasih alasan yang jelas buat gue!"
"Ini terlalu cepat, Gavyn. Aku belum tahu benar perasaanmu ke aku, jadi jangan goyahkan hatiku terlebih dahulu. Aku juga perlu waktu, i-ni benar-benar di luar dugaan aku."
"Kenapa? Apa lo belom bisa percaya sama gue?" tanya Gavyn, menyudutkan Ara supaya memberikan alasan yang lebih logis lagi.
"Bukan begitu..." Ara membuang mukanya ke arah lain, sedikit mengontrol perasaan dan akalnya yang saling bertolak belakang.
"Gue ingin gantiin posisi Saga buat bikin lo bahagia," kata Gavyn lagi. "Gue janji nggak akan nyakitin lo kayak awal pertemuan kita."
Ara tidak tahu lagi. Akal dan hatinya sama-sama berkecamuk. Ia tidak yakin apakah menerima Gavyn adalah permintaan yang diinginkan hatinya. Tetapi di sisi lain, akalnya masih terus menerawang jauh memikirkan resiko apa yang akan diterimanya. Jujur saja, ia takut merasakan patah hati seperti kebanyakan orang lain rasakan.
Ara menggigit bibir bawahnya menahan tangis yang ingin pecah. Baginya ini terlalu rumit, apalagi sebelumnya Ara tidak pernah mengalami hal seperti ini. Jatuh cinta dengan seseorang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Dirinya terlalu sibuk berbagi senyuman kepada yang lain dan melupakan fase-fase itu. Fase kedewasaan yang nantinya pasti akan ia lewati disaat yang tepat.
"Aku nggak bisa, Vyn. Maaf," tak tahan lagi, Ara langsung berlari meninggalkan Gavyn yang masih menggantungkan harapan padanya.
***
"Kamu udah pulang, Vyn," Martin tersenyum lebar saat Gavyn sudah tiba di rumah. Namun, seperti biasa, cowok itu hanya acuh dan terus berjalan menuju kamarnya tanpa menghiraukan keberadaan Martin.
Bagi Gavyn, dirinya sudah terbiasa hidup tanpa Martin. Jadi jika sekarang Martin ada di sini, jangan salahkan Gavyn jika hanya menganggap Martin seperti angin lalu. Tidak ada.
"Papa harap kamu suka kejutan dari papa," kata Martin lagi walaupun Gavyn masih tetap mengacuhkannya.
Gavyn tidak perduli. Apa pun itu tidak akan pernah bisa menebus semua masa-masa suram yang sudah ia lewati sendirian. Dirinya sudah terlanjur marah, kesal, sekaligus kecewa dalam waktu yang bersamaan.
Ia tidak ingin pikirannya bertambah kacau karena Martin. Cukup Ara saja yang bisa memporak porandakan pikirannya sekarang. Ia masih tidak menyangka bahwa Ara sudah menolaknya, dan hal itu membuat pikirannya semakin penuh tentang Ara.
Ara, Ara, dan hanya Ara.
Tepat sebelum Gavyn membuka pintu kamarnya, pintu itu lebih dulu terbuka dan menampilkan sosok yang tidak pernah Gavyn bayangkan akan muncul lagi di hadapannya.
"Gavyn!" seorang gadis langsung memeluknya penuh semangat.
Gavyn menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari kepalannya. Tetapi nihil, sekarang ia benar-benar kembali melihat sosok itu muncul lagi di hadapannya.
"S-selina?" berusaha menyakinkan bahwa ini bukanlah sebuah mimpi, dengan sendirinya tangan Gavyn bergerak membelai rambut panjang gadis itu.
Yang dipanggil pun langsung mengurai pelukannya dan tersenyum lebar-lebar saat menatap wajah Gavyn seperti dulu, saat dirinya dan Gavyn masih berada dalam satu kebahagiaan.
"Kamu makin ganteng aja ya, aku jadi pangkling kalo kayak gini. Apa kabar kamu sekarang?" selorohnya dengan ceria, dan masih sama seperti dulu.
Dalam rasa keterkejutannya, Gavyn menatap balik Selina dengan rasa penuh ketidak percayaan. Tidak ada yang berubah dalam diri Selina. Gavyn masih bisa melihat senyum khasnya itu, suara renyahnya, sorot matanya yang hangat, semuanya benar-benar belum berubah. Hanya saja sekarang Selina semakin terlihat tinggi dan lebih cantik.
"Selina?" ulang Gavyn lagi.
"Kamu udah makan belom? Gimana sekolah kamu di sini? Pasti kamu seneng ya punya temen banyak. Wah aku jadi---"
Cup
Satu gerakan Gavyn membuat deretan kalimat Selina terpotong begitu saja. Entah semacam kerinduan yang sudah mendesak ingin dikeluarkan atau apa, tetapi tanpa permisi Gavyn mencium bibir Selina dengan dalam. Awalnya Selina sedikit terkejut, namun detik selanjutnya Selina memejamkan mata dan membalas ciuman Gavyn. Bibir mereka bersatu, seolah meleburkan rindu-rindu yang selama ini mereka pupuk.
Gavyn benar-benar rindu.
Di balik ciuman itu, setetes air mata jatuh dari sudut mata Gavyn. Ia tidak pernah menyangka akan kembali menemukan sosok Selina yang sangat ia cintai dan kembali dalam rengkuhannya.
Namun jauh dari itu, seseorang juga tengah menangis. Meraung, membantah semua perasaannya sendiri. Meskipun Gavyn tidak tahu apa alasan yang sebenarnya, gadis itu hanya ingin tetap menangis dan kembali memikirnya apa yang hatinya mau.
***
Selina Contanza
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Want's
Teen Fiction"Siapa sih lo sebenernya?! Kenapa lo selalu lancang masuk ke dalam pikiran gue?!" -Gavyn Sakti Andromeda- *** [Sister Love Story book One] Cinta itu hanya hoax bagi Gavyn, si ketua geng G-force yang sangat terkenal di SMA Merpati. Semenjak kejadian...