Berbekal sebuah buket mawar putih dalam genggamannya, cowok itu melangkah menyusuri beberapa gundukan tanah yang ia lewati sementara seorang gadis di belakangnya mengikuti dengan hati-hati.
Gadis itu tidak berani buka suara ketika tahu kemana tempat yang Gavyn ingin kunjungi. Pemakaman.
Setelah melewati beberapa gundukan tanah yang sebagian sudah ditumbuhi rumput hijau, langkah Gavyn terhenti di depan pusara berwarna hitam. Disana nama seseorang yang telah melahirkan dan membesarkannya terukir dalam batuan marmer.
Rosa Amalia
Gavyn berjongkok, meletakan buket mawar putih itu tepat di depan pusara lalu mengusapnya dengan senyuman.
"Ma, Gavyn dateng. Maaf ya, Gavyn lama nggak jengukin Mama," ujar Gavyn seraya menatap gundukan tanah yang sudah dipenuhi dengan rumput hijau itu. Disanalah Mamanya sudah terbaring dengan tenang.
"Halo Tante, nama aku Ara," tanpa Gavyn duga, gadis itu juga tengah berjongkok di sisi lain makam Rosa. Dengan senyuman lebar, ia juga ikut mengelus pusara hitam itu. "Tante, apa kabar disana? Pasti baik dong! Tante disini jangan khawatir ya, aku bakalan ngawasin Gavyn. Kalo dia bandel, aku pasti bakal jewer telinganya."
Ara memang tidak bisa untuk menahan keinginannya. Bagaimana pun ia mencoba memberi ruang pada Gavyn, hatinya terus saja ingin ikut bercoleteh layaknya sudah mengenal Rosa sejak lama. Entah dorongan darimana, gadis itu berhasil menembus salah satu lapisan dalam hati Gavyn. Lapisan yang selama ini hanya Selina yang dapat menembusnya, tapi sekarang...
Detik per detik, Ara mulai menggeser posisi Selina dalam hatinya. Disadari atau tidak, keduanya saling tarik-menarik satu sama lain.
Gavyn tak mampu berucap, mungkin hanya matanya saja yang bergerak kali ini. Bukan, tetapi lebih tepatnya ia berusaha mengontrol pikirannya sendiri tentang Ara. Ini pertama kalinya Gavyn mengajak orang lain mengunjungi makam Ibunya, bahkan Selina sekali pun belum pernah kemari. Ya, karena gadis itu lebih dulu meninggalkan Gavyn dan menutup semua kemungkinan tentang cowok itu.
Termasuk kematian Rosa.
"Ara pasti bakalan lebih sering jengukin Tante, biar Tante nggak kesepian ya," kata Ara masih dengan cengiran lucunya. Ia terus berbicara seolah gundukan tanah di depannya saat ini terdapat orang yang masih hidup.
Gavyn hanya tercengang melihat semua tingkah Ara. Dari raut wajah gadis itu, tidak ada sorot ketakutan atau yang lainnya. Justru ia terus-terusan menampilkan cengiran, dan ocehan andalannya.
"Ara..." lagi-lagi ulu hatinya terasa tersentuh, dan seketika air matanya turun tanpa suara.
Gadis itu menoleh, menggenggam satu tangan Gavyn dan berkata, "Menangislah di depan Ibumu, dan aku akan berada di belakang untuk menenangkanmu."
"Mama..."
Isak tangis Gavyn terasa memilukan hati Ara. Gadis itu lagi-lagi melihat Gavyn menangis. Ternyata seperti ini rasanya ditinggal orang yang kita sayangi. Meskipun sudah lama, luka itu tidak mau menutup. Ada saja kenangan yang membuat kerinduan kembali hadir dan menguar air mata. Seperti itulah yang Gavyn rasakan selama ini, waktu telah membuatnya semakin memudar.
Tepukan kecil terus Ara berikan pada punggung tangan Gavyn, berusaha mengalirkan sedikit ketenangan disana. Ara tidak tahu rasanya kehilangan orang yang dia sayangi, tetapi ia tetap berusaha ada untuk Gavyn. Entah itu sekarang atau nanti, yang Ara tahu ia hanya bisa membiarkan dirinya untuk menemani Gavyn disini.
Mungkin kamu benar, semakin lama, semakin kita menarik satu sama lain.
***
"Ah kenyang, makasih ya," gadis itu menunjukkan cengiran andalannya seraya menyilangkan sendok dan garpu di atas piring yang sudah kosong.
"Laper atau emang doyan, ngebut banget makannya? Gue rasa, porsi gue sama lo kalah deh,"
"Kecil-kecil gini, aku juga butuh asupan yang banyak kan lagi masa pertumbuhan,"
Gemas dengan jawaban Ara, satu tangan Gavyn bergerak mencubit pipi bakpau gadis itu hingga ia memekik kesakitan.
"Aduh..."
"Bocil dasar!"
Setelah dari pemakaman Rosa, disinilah mereka berakhir. Di sebuah kedai kecil yang terletak di pinggiran kota dan berdempetan dengan toko bunga. Karena Ara sudah membuat Gavyn menangis, cowok itu memutuskan untuk mengisi perutnya yang tentu saja langsung disetujui oleh Ara karena memang nafsu makanannya yang besar. Saat sesampainya di kedai makan tersebut Gavyn dibuat melongo saat mendengarkan Ara memesan makanan. Banyak. Catat, sangat banyak.
Gavyn tersenyum simpul melihat Ara yang kini sedang memainkan minumannya. Dengan pipi yang menggelembung, gadis itu meniup minuman keduanya--coklat panas--yang masih diselimut kepulan asap sambil sesekali menyeruputnya secara perlahan.
Menggemaskan.
Seperti itulah Ara dimata Gavyn. Ada saja ulah gadis itu untuk menarik perhatiannya. Meskipun Ara memang tak pernah sengaja melakukannya, tetap saja Gavyn tertarik untuk menikmati wajah gadis polos itu. Dan dari hari ke hari, pikiran Gavyn semakin dipenuhi tentang Ara.
Semakin hari, semakin Gavyn tahu semua sikap polos dari gadis itu. Mulai dari makanan--Gavyn tahu Ara suka semua makanan yang berbau manis--, tontonan kesukaannya, hobby yang selalu menyita banyak waktu--apalagi jika bukan membaca tumpukan novel koleksinya--yang entah membuat Gavyn selalu kesal jika Ara lebih mementingkan bukunya. Dan Gavyn akui, ia semakin tertarik ke dalam kehidupan Ara. Membuka satu persatu halaman kosong yang tidak pernah Gavyn tahu dari Ara.
Ara meletakkan cangkir yang menyisakan setengah coklat panas dan mengecek ponsel yang tergeltak di samping piring kosong lalu men-slide layarnya dengan cepat. Entah hal apa yang membuat gadis itu tiba-tiba menjadi panik.
"Vyn..." panggil Ara dengan mata yang membulat penuh tanpa melepaskan perhatian dari layar ponselnya.
Tak khayal eksperisi itu langsung membuat Gavyn merasa khawatir. "Apa? Ada apa?"
"Aku..." Ara kembali menggantungkan kalimatnya yang secara otomatis membuat Gavyn semakin merasa bingung. "Apa sih, Ra?! Ngomong jangan setengah-setengah gitu dong!" tandas Gavyn tak sabaran.
Gadis itu mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatap wajah Gavyn dengan seksama, "Aku lupa kasih makan Molly,"
"Molly siapa?"
Bukannya menjawab, detik selanjutnya Ara beringas bangkit dan berlari keluar kedai tersebut dengan tergesa-gesa, meningglkan Gavyn yang masih dihantui rasa penasaran.
"Gavyn cepetan!" Teriak Ara dari luar kedai.
Melihat ekspresi Ara yang kalang kabut, Gavyn menaruh dua lembar uang seratusan dan segera menyusul Ara yang sudah berdiri di samping mobilnya.
"Molly itu siapa sih?" tanya Gavyn saat tubuhnya sudah berhadapan lagi dengan gadis itu.
"Molly itu..." lagi-lagi Ara menggantungkan kalimatnya.
"Ngomong yang bener!"
Ara mendengus pelan sebelum akhirnya mengeluarkan suara melengkingnya. "MOLLY ITU ANJING AKU! UDAH AYO PULANG!"
Mendengar jawaban Ara, detik itu juga Gavyn merasa seperti orang bodoh yang barusan ditipu oleh orang idiot. Rasanya Gavyn ingin menendang Ara sekarang juga jika tidak mengingat gadis itu sebagai malaikat penolongnya.
Tangan Gavyn mengusap wajahnya dengan kasar seraya menghela nafas panjang. "Astaga, kenapa juga gue harus jalan sama cewek aneh bin ajaib kayak lo,"
"Ah... ayo cepetan pulang, kasihan Molly nungguin aku!"
"Iya-iya!"
Tanpa menunggu Gavyn duduk dalam kursi kemudi, Ara lebih dulu masuk ke dalam mobil dan membuat Gavyn tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi gadis seperti Ara yang selalu banyak tingkah anehnya.
Kesel banget! Tadi bikin gue nangis, sekarang bikin gue kek orang bego. Duh, Araaa!
***
Author note:
Hai hai .... aku update lagi nih!
Maaf ya kalo kelamaan karena emang tugas lagi banyak-banyaknya. Huhuhu😢😢😢
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Want's
Teen Fiction"Siapa sih lo sebenernya?! Kenapa lo selalu lancang masuk ke dalam pikiran gue?!" -Gavyn Sakti Andromeda- *** [Sister Love Story book One] Cinta itu hanya hoax bagi Gavyn, si ketua geng G-force yang sangat terkenal di SMA Merpati. Semenjak kejadian...