"Ra, udah piketnya?" tanya Saga. Kepala cowok itu menyembul dari daun pintu kelas Ara, XI IPS 1. Sekarang memang sudah selesai jam sekolah, tetapi Saga harus menunggu Ara piket karena ini hari selasa.
"Bentar, kurang dikit,"
"Mau aku bantuin?" tawar Saga saat melihat gadis itu sedikit berjinjit menghapus papan tulis. Sebelum Ara berhasil menjawab, Saga lebih dulu merebut penghapus itu dan membersihkan tulisan-tulisan dari mata pelajaran terakhir. "Doyan susu kok badan masih kayak kurcaci,"
"Apa kamu bilang?!" Ara berkacak pinggang, tidak terima.
"Iya kurcaci. Pendek banget!"
"Bukan aku yang pendek, tapi kamu tuh yang bongsor. Enak aja ngatain aku!" Ara bersidekap, kemudian berjalan menuju bangkunya untuk mengambil tas. "Dasar nyebelin!"
Tanpa memperdulikan Saga, Ara bergegas keluar dari kelas meninggalkan tugas piketnya yang digantikan oleh Saga. Gadis itu cemberut, merasa sangat gondok jika ada seseorang yang selalu mengejek tentang kekurangannya. Kurang tinggi, maksudnya.
"Yeh, aku ditinggalin. Ara, tunggu!" sadar langkah Ara semakin jauh, Saga membuang penghapus itu ke sembarang tempat dan segera berlari menyusul Ara.
Karena langkah Ara yang pendek, Saga dengan mudah dapat menyusul Ara dan menghentikan pergerakan gadis itu.
"Ngambek mulu kek nenek-nenek," tangan Saga bergerak mengacak-acak puncak kepala Ara hingga membuat gadis itu tambah mencak-mencak. "Gemes deh!"
"Apaan sih, Ga?! Berantakan tau!"
"Salah sendiri jadi cewek suka banget ngambek. Cepet keriput baru tau rasa kamu,"
Tak mau kalah, Ara melayangkan cubitan pada perut datar Saga hingga membuat pemuda itu memekik kesakitan. "Aku juga gemes sama kamu!"
"Aw, sakit, Ra!"
"Makanya jadi cowok tuh jangan resek!"
Saga meringis, "Iya-iya, Ra, ampun kanjeng mami!"
"Udah ih, ayo pulang!" Ara mulai menghentikan cubitannya pada Saga dan meraih tangan cowok itu untuk segera masuk ke dalam mobilnya.
***
"Ara," Caramelia masuk ke dalam kamar Ara, ketika gadis itu masih sibuk mengerjakan sesuatu di meja belajarnya. "Lagi sibuk lu?" tanya cewek tomboy itu seraya mendekat ke arah Ara.
"Lagi nulis doang nggak sibuk juga, kenapa?"
"Ikut gue sama Saga cabut yuk, gue pengen jalan-jalan nih."
"Kamu pergi aja, aku lagi males main sama Saga." cetus Ara yang masih tidak mengalihkan pandangan dari buku tebal itu.
"Kok gitu?"
"Nggak minat aja,"
Caremelia menyerah, ia menghembuskan nafas panjang saat tidak berhasil membujuk Ara untuk keluar. Bagaimana pun mereka bersahabat, tetap saja Ara butuh ruang untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin bagi Caramelia untuk terus memaksa keinginan sahabatnya, ia cukup tahu bagaimana bertindak secara tepat dalam hubungan persahabatan mereka.
"Yaudah, lu mau nitip sesuatu nggak? Es krim misalnya, atau coklat?" tawar Caramelia.
Ara akhirnya menoleh, menarik kedua sudut bibirnya menampilkan seulas senyuman manis. "Nggak usah, Mel. Aku beneran lagi nggak pengen apa-apa, mendingan kamu cepet pergi daripada keburu malem, yakan?"
Ara tetaplah Ara, dia tetap sahabat terbaik yang pernah Caramelia miliki. Meskipun dibumbui pertengkaran kecil yang sering terjadi, tetapi hal itu tidak pernah membuat keduanya benar-benar berhenti menjalin persahabatan. Justru dari hal itulah, mereka sadar ada apa-apa yang harus mereka jaga, seperti rahasia satu sama lain misalnya.
"Yaudah, aku pergi dulu ya dah!" gadis berambut panjang itu akhirnya pergi dari kamar Ara. Kaki panjangnya melangkah menuruni tangga seraya memberikan gelengan kecil saat melihat Saga yang sedang menunggunya.
"Gimana? Ara nggak ikut?" tanya Saga. Tubuh cowok itu kini sudah terbalut dengan kemeja berwarna biru laut dengan lengan yang digulung hingga siku, berpadu dengan celana jeans panjang yang membuat penampilannya semakin menarik malam ini.
Padahal hanya pergi bersama Caramelia, tetapi Saga selalu memperhatikan setiap ujung penampilannya. Meskipun Caramelia itu bukan pacarnya, tetap saja Saga ingin terlihat perfect di mata semua gadis-gadis yang akan melihatnya nanti. Dasar, Sagara.
"Katanya dia lagi males sama lo. Rasain tuh dimusuhin sama, Ara!"
"Hayati mulu yang disalahin, tau ah!" Saga memasang ekspresi sok terlukanya yang otomatis langsung dihadiahi jitakan maut dari Caramelia. "Anjir, sakit woy!" pekiknya.
"Najis banget dah lu jadi cowok. Menye-menye terus kek banci!" semprot Caramelia gemas.
"Lu sama, Ara, emang nggak ada bedanya. Sama-sama suka nyiksa gue!"
Caramelia hanya memutar bola matanya dengan jengah kemudian langsung mendorong tubuh tinggi Saga untuk cepat pergi menuju mobilnya yang sudah terparkir di halaman.
"Banyak bacot lu ah!"
"Huaa ... Mama, Saga dijahatin mulu nih!"
***
"Apa?! Enggak aku nggak mau pindah ke luar negeri!"
"Tapi nggak ada yang ngerawat kamu disini, Gavyn! Kenapa kamu selalu keras kepala?!"
Cowok itu tersenyum remeh, menertawakan sesuatu yang amat ia sesali dalam dirinya sendiri. "Papa lupa, kalo sifat aku yang keras kepala nurun dari Papa sendiri? Inget Pah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," tandas Gavyn.
"Papa akan jual rumah ini kalau kamu tetep nggak mau pindah ke Prancis!"
Tangan Gavyn terkepal kuat, siap meninju apa saja yang kini berada di hadapannya. Pikirannya kalut, dadanya terasa sesak setiap kali Martin meminta dirinya untuk meninggalkan Indonesia. Meninggalkan semua kenangan masa kecilnya disini, dan memulai kisah baru sebagai penerus perusahaan keluarganya.
Andai semua tahu, Gavyn sangatlah rapuh. Tidak ada siapa pun yang mengerti bagaimana luka yang selalu ia pendam selama ini. Bukan hanya masalah Selina, tetapi juga masalah keluarganya yang memang sudah hancur berantakan. Martin jadi gila berkerja setelah Rosa meninggal dunia. Gavyn bukan lagi prioritas bagi Martin, semuanya berubah begitu saja. Dan semenjak itulah Gavyn sudah tidak punya kebahagiaan lagi setelah semua hilang begitu saja.
"Papa tuh nggak pernah ngertiin aku. Papa nggak pernah tanya kemauan aku kayak gimana, papa terlalu egois!" Amarah Gavyn kian memuncak. "Semua yang aku hadapi selama ini apa Papa tau? Apa Papa juga mikir gimana sakitnya jadi aku? Pah, aku juga ngerasa kehilangan Mama, aku juga sakit Pa! Bukan cuman Papa aja yang ngerasain semua kesedihan ini, aku masih disini Pa, aku masih anak Papa yang juga memerlukan pelukan hangat sebuah keluarga!"
Bagai sebuah tamparan, Martin hanya bisa terdiam melihat kemarah putra semata wayangnya. Ia bahkan tidak sadar, bahwa Gavyn juga melewati masa sulit setelah ditinggalkan oleh Rosa.
"Aku emang anak Papa, tapi aku ngerasa nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Aku ngerasa semua ini cuman ilusi buat aku, Papa, Mama, Selina, kalian semua memilih pergi ninggalin aku tanpa mau tau bagaimana luka yang aku rasain selama ini! Kalian semua egois, kalian semua ngelupain kehadiran aku disini!"
Kedua mata Gavyn berkaca-kaca, deru nafasnya tidak beraturan saat berhadapan dengan Martin, sosok yang beberapa tahun belakangan ini lebih suka tinggal di negeri seberang daripada menguatkan Gavyn disini. Sosok yang dulu selalu setia mendengar berbagai curahan hatinya, kini dirasa tidak sehangat seperti dulu lagi. Semua itu sudah benar-benar pudar bagi Gavyn.
"Maaf---"
"Percumah, aku sudah terlanjur terluka sekarang," sela Gavyn seraya mengambil kunci mobilnya dan pergi meninggalkan rumah. "Aku pergi!"
Martin tidak ingin menghentikan langkah Gavyn meskipun pria itu sangat menginginkannya. Ia sadar, bahwa dirinya sendirilah yang menciptakan luka yang begitu besar dalam diri Gavyn. Ia juga tidak bisa menyangkal semua kebenaran yang diungkapkan oleh putra semata wayangnya itu. Semua benar adanya.
Martin sudah merasa sangat gagal menjadi seorang kepala keluarga. Mungkin memang ini adalah sebuah hukuman yang pantas ia terima setelah menelantarkan Gavyn begitu saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Want's
Teen Fiction"Siapa sih lo sebenernya?! Kenapa lo selalu lancang masuk ke dalam pikiran gue?!" -Gavyn Sakti Andromeda- *** [Sister Love Story book One] Cinta itu hanya hoax bagi Gavyn, si ketua geng G-force yang sangat terkenal di SMA Merpati. Semenjak kejadian...