Adli baru saja terbangun dari tidurnya dan melirik jam di kamar apartemennya yang menunjukkan pukul 3 subuh. Dua jam yang lalu mereka semua baru kembali dari acara jalan-jalan malam mereka. Seperti biasa, Adli menuju ke arah toilet dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan solat malam. Sampai pria itu selesai melakukan ibadah, ia belum menyadari seseorang lainnya yang masih terjaga malam itu.
Setelah selesai solat malam, Adli tidak kembali tidur. Efek kopi tadi menstimulan otaknya sehingga pria itu menjadi susah tidur. Adli pun memilih untuk menuju ke ruang tengah apartemen dan berencana untuk menonton tv.
Langkah kaki Adli terhenti di depan pintu kamarnya saat mendapati pintu balkon dari sudut kanan ruang tengah terbuka. Adli menyipitkan matanya mencoba menangkap sosok yang saat itu sedang berada di luar. Adli menyalakan lampu ruang tengah yang tadinya hanya disetel remang-remang. Sosok yang saat itu tengah duduk di luar pun menengok ke arah Adli. Beberapa anak rambutnya yang keluar dari tudung jaketnya tertiup angin malam. Adli mengenali siapa sosok itu.
Ajeng.
Ajeng hanya menoleh sekilas lalu kembali lagi menoleh ke arah pandangannya sebelumnya. Adli menghembuskan nafas berat lalu melangkah pelan-pelan ke arah Ajeng. Pasti telah terjadi sesuatu dengannya. Ajeng hanya melakukan hal seperti ini saat terjadi sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya.
"Kamu kenapa?" ujar Adli saat berada di ambang pintu yang terbuka menuju balkon. Ajeng tidak menoleh, hanya menggeleng lemah di tempatnya duduk.
"Ajeng?" Adli menegur Ajeng sekali lagi sambil meraih bahu Ajeng dan meremasnya dari arah belakang.
"Aku nggak papa, cuman nggak bisa tidur gara-gara kopi kayaknya. Sekalian nungguin web toon," jawab Ajeng lemah.
Adli menarik kursi lainnya yang ada di balkon dan menaruhnya di samping Ajeng.
"Webtoon udah update dari jam 10 tadi, kamu ngasih alasan yang bagus dikit, ah. Kenapa?" Adli mencoba melihat ke arah Ajeng.
"Farhan," Ajeng menjawabnya benar-benar lirih. Mendengar jawaban Ajeng tiba-tiba Adli merasa sesak. Entah hal apa yang membuatnya seperti ini. Setiap kali melihat Ajeng sedih karena pria lain, seketika hati Adli sesak. Bagai ratusan pisau tengah dihujamkan tepat di hatinya. Mungkin karena Adli sudah sangat menyayangi Ajeng seperti adik sendiri yang akhirnya membuat Adli tidak pernah tega melihat Ajeng bersedih.
"Kenapa? Kamu baper sama dia?" Adli bertanya dengan suara pelan.
"Nggak tau, aku nggak mau baper sama dia. Aku nggak mau," Ajeng menjawabnya sambil mulai terisak. Lagi-lagi Adli merasa hatinya teriris.
"Dua jam yang lalu baru aja kamu kayaknya bahagia banget, sekarang kamu kayaknya sedih banget," ujar Adli. Ajeng tersenyum melihat ke arahnya.
"Aku cuman..." Ajeng menggantung kalimatnya.
"Kamu takut semuanya terulang lagi seperti kisah cinta kamu sama Dika dulu?" Adli sudah tau pasti kemana arah kalimat Ajeng.
Ajeng hanya mengangguk.
"We're 25, Jeng! It happened years ago, when were young, when we didn't understand how to love. Kapan kamu mau coba buka hati kamu? Kesalahannya Dika dulu sama kamu bukan berarti akan jadi kesalahan yang sama yang bakal dilakukan Farhan ke kamu. Let me guess, yang nelpon di café tadi Farhan?" Adli lagi-lagi kesal ketika Ajeng kembali ketakutan untuk membuka hatinya. Namun, sikapnya tanpa ia sadari telah melukai lebih banyak hati.
"Aku takut, mas" Ajeng kembali mengucapkan hal yang sama.
"Farhan itu kontraktor yang kerja sama kamu kan? Kenapa kamu takut?" Adli mencoba mengingat beberapa sosok pria yang pernah dikenalkan Ajeng kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bridesmaid
ChickLitSudah dua tahun terakhir Hanum, Kesha, Ajeng, Astrid, Rara, Vero, dan Alya yang bersahabat sejak SMA tidak pernah bertemu lagi. Hal ini disebabkan oleh kesibukan di puncak karir mereka. Cita-cita yang mereka idamkan telah berhasil mereka raih. Namun...