Adli kini berada di ruang operasi. Menemani Ajeng yang kini tidak sadar bahwa seseorang tengah merobek perutnya dan melakukan berbagai hal dengan organ tubuhnya. Adli berada di sana, menjadi seorang dokter anestesi yang menangani dirinya. Pengalaman terburuk Adli sejauh ini adalah ketika pasiennya operasi lebih lama dari yang seharusnya. Serangan panik yang ia dapatkan saat itu bahkan masih ia ingat bagaimana rasanya.
Namun, kini menghadapi Ajeng yang menjadi pasiennya membuat Adli seketika amnesia dan panik jauh lebih daripada biasanya. Otaknya mulai berpikir yang tidak-tidak. Membuat cap Adli sang dokter penenang begitu saja hilang. Kali ini, ia baru menyadari mengapa dokter-dokter lain pada umumnya memilih untuk mengobati orang-orang yang ia sayang kepada orang lain. Karena, tanggung jawab dan beban yang diemban lebih besar. Selain itu, ilmu yang selama ini ia hapal dan kuasai dengan baik seketika buyar begitu saja!
Dokter ahli bedah yang menangani Ajeng kini telah selesai dengan pekerjaannya dan akan berpindah ke operasi selanjutnya. Penjahitan luka akan dilakukan oleh beberapa dokter lain dan perawat. Adli baru mulai bisa bernafas lega sekarang, paling tidak Ajeng tidak merasakan sakit saat perutnya dibelah.
Adli masih terus berdoa agar anestesi yang diraciknya tidak membuat Ajeng merasakan sakit apapun. Adli tidak ingin Ajeng merasakan sakit apapun. Sejak kemarin malam Ajeng dilarikan ke rumah sakit, Adli bertingkah sama seperti adik dan kedua orang tua Ajeng. Cemas, takut, dan tidak hentinya memohon doa kepada sang kuasa.
Adli tidak ingin Ajeng merasa sakit. Apapun itu akan ia lakukan agar wanita yang sudah merupakan bagian dari hidupnya ini tidak merasakan sakit.
-
Pukul sebelas malam dan Ajeng sadar dari tidurnya. Kepalanya pusing. Ia merasa sangat lemas karena puasa sebelum operasi. Ia merasa sesuatu tengah melingkupi punggung tangannya. Dengan pandangan berat, gadis itu menemukan Adli tengah tidur dengan posisi duduk dan menaruh kepalanya di sisi kiri tubuhnya. Menggenggam tangan Ajeng yang tidak terpasang infus.
Ajeng menelusuri wajah kalem Adli yang tengah tidur. Nafasnya yang beraturan menerpa punggung tangan Ajeng. Menimbulkan sensasi tersendiri kepada Ajeng. Ia sudah bersama laki-laki ini hampir seumur hidupnya, namun entah mengapa ia baru merasakan sensasi aneh ini sekarang. Ajeng tersenyum.
Beberapa kumis dan janggut tipis mulai tumbuh di sekitar wajah Adli. Membuat pria tersebut terlihat, tampan? Lagi-lagi Ajeng tersenyum. Hidung yang tidak terlalu mancung khas orang jawa dengan kulit kecoklatan, membuat Adli terlihat manis. Ajeng tanpa sadar membawa jari-jarinya menyentuh wajah Adli. Menelusuri rahang Adli yang terlihat jelas karena pria tersebut tidak terlalu berisi. Alis Adli yang tidak terlalu tebal dan berakhir menyentuh batang hidung pria tersebut.
Tanpa sadar, hal tersebut justru membuat Adli pelan-pelan mengerjapkan matanya dan mendapati Ajeng tengah menangkupkan tangannya ke pipi Adli. Seketika Adli merasa pipinya menghangat ketika menyadari apa yang tengah terjadi. Ajeng tersenyum melihatnya. Adli mencoba mentralisir debaran jantungnya yang menjadi tak keruan karena tingkah Ajeng.
"Mas, aku lapar," ucap gadis tersebut ketika Adli menegakkan tubuhnya dan kini malah menggenggam tangan Ajeng yang tadi digunakan oleh Ajeng untuk meraba wajah Adli.
"Sabar ya, tunggu kamu buang angin baru boleh makan," ucap Adli sembari mengacak puncak kepala Ajeng. Gemas ingin mencium kening gadis tersebut.
"Mas, aku pengen ngomong sesuatu," ucap Ajeng pelan. Mendengar hal tersebut, Adli makin merasa gugup. Perasaan yang harusnya aneh karena mereka telah bersama begitu lamanya tapi baru merasakan keanehan sekarang.
"Mau ngomong apa?" ucap Adli mencoba terlihat tenang.
"Biaya jasa Mas Adli jadi anestesi aku jangan mahal-mahal ya," ucap Ajeng kemudian tertawa kecil. Menahan sakit di perutnya. Adli hanya mendengus kesal merasa bahwa Ajeng berhasil menjahilinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bridesmaid
ChickLitSudah dua tahun terakhir Hanum, Kesha, Ajeng, Astrid, Rara, Vero, dan Alya yang bersahabat sejak SMA tidak pernah bertemu lagi. Hal ini disebabkan oleh kesibukan di puncak karir mereka. Cita-cita yang mereka idamkan telah berhasil mereka raih. Namun...